Senin, 12 Juli 2010

Hanya Sebuah Nama

Sebuah nama… Tak tersurat dalam catatan pena hitam…
Tak terlukis dalam kanvas kehidupan…
Tapi… Terukir dengan tinta emas…
Berbalut cahaya kehidupan…
Dihiasi dengan manik perasaan…
Menimbulkan gejolak yang menggetarkan…
Sebuah nama yang terukir dalam hati tiap insan…
Membias, memberi warna dalam hidup…
Persahabatan….

Tian, Arya dan Byan sedang berjalan menyusuri koridor sekolah. Dari arah berlawanan, terlihat Irsya, si kutu buku, sedang membawa setumpuk buku. Bruk! Tian tidak sengaja menabrak Irsya.

Irsya : (Mengambil buku-buku yang berserakan)
Byan : “Biar saya bantu.” (Bersiap membantu Irsya memungut buku-bukunya)
Tian : “Apa-apaan, sih, Yan? Untuk apa kamu menolongnya?”
Byan : “Saya…, saya kasihan kepada Irsya. Dia ‘kan teman kita, sahabat kita dan…”
Tian : (Memotong ucapan Byan). “Itu dulu. Sekarang, semua itu hanya tinggal kenangan. Masa lalu tidak perlu di ungkit-ungkit lagi. (Menarik Arya dan Byan, lalu pergi meninggalkan Irsya sendirian). “Arya, kok kamu diam saja, sih?”
Arya : “’Kan kamu tidak meminta pendapatku.”

***

Aya : “Eh, Lun, soal yang ini bagaimana, sih?” (Menunggu jawaban Aluna, kemudian menatapnya) “Aluna! Dengar tidak,sih?”
Aluna : “Iya, dengar. Kamu mau ini ‘kan?” (Sambil menyodorkan toples makanan)
Aya : “Lun, bisa tidak, sih. Kamu tidak makan satu menit saja? Kita ini sedang membahas soal. Aku bingung, nih.”

Tiba-tiba Irsya datang dengan muka cemberut. Sesekali dibetulkannya letak kacamatanya.
Irsya : (Melempar buku-buku yang dibawanya ke meja)
Aluna : “Hei, jangan begitu. Itu ilmu tahu.”
Aya : “Iya, ada apa , sih? Mukamu kok cemberut gitu?”
Irsya : (Duduk di depan keduanya) “Habisnya si Tian itu menyebalkan. Masa tadi dia nabrak aku sampai buku-bukuku jatuh semua. Terus, dia tidak mau minta maaf lagi. Terus ya, tadi waktu…”
Aya&Aluna : “Berhenti!”
Aluna : “Kalau bicara itu pakai spasi dong. Jangan ada titik ditabrak terus. Lagian, kamu itu kutu buku cerewet amat, sih?”
Aya : “Dia maunya apa, sih?”
Aluna : “Iya, maunya apa, sih?”
Aya : “Dia mau cari masalah?”
Aluna : “Iya, He? Memangnya cari masalah itu di mana, sih? Di internet ya?”
Irsya : “Ah, sudahlah. Bicara dengan kalian tambah ruwet saja.”

***

Disuatu siang, Arya dan Byan sedang bermain di rumah Tian. Mereka berdua sedang bermain gitar saat Tian menghampiri mereka berdua.
Tian : “Gawat bin darurat! Ada masalah!”
Byan : “Masalah? Ar, Tian bilang ada masalah.”
Arya : “Oh, gitu. Masalah ya? Terus masalahnya apa?” (Dengan tetap bermain gitar tanpa memandang Byan maupun Tian)
Tian : “Arya, dengarkan dong kalau ada orang bicara.” (Sambil berkacak pinggang)
Arya : “Iy, iya, aku dengar kok. Lagian, yang main gitar ‘kan tanganku, telingaku nganggur tuh.” (Dengan tetap cuek, tanpa melihat lawan bicaranya)
Tian : “Ugh! Kamu ini!”
Byan : “Sudah, sudah. Memang masalah yang ingin dikatakan pada saya itu benar-benar gawat?”
Tian : “Ya, tidak salah dan pasti benar.”
Arya : “Ya sudah, bicara saja, lama.”
Tian : (Menghela napas) “Saudara jauhku mau ke sini.”
Byan : “Lalu, masalahnya apa?”
Tian : “Masalahnya, saudaraku itu…”
Tiba-tiba datang Aluna, Aya, dan Irsya menghentikan pembicaraan mereka bertiga.
Irsya, Aya, Arya, Byan :”Kamu!?”
Irsya : (Cemberut) “Lun, buat apa, sih, kita ke sini? Kok kamu tidak bilang klau mau ke tempat nenek sihir ini? Kamu ‘kan tahu sendiri dia…”
Aluna, Aya, Arya, Tian, Byan : “Stop!”
Aluna : (Memeluk Tian) “Tian, aku kangen sama kamu. Sudah lama ya kita tidak bertemu.”
Tian : (Berusaha melepas diri dari pelukan Aluna) “Ih, apa-apaan, sih?”
Aluna : “Tian, aku ‘kan kangen sama kamu.”
Tian : “Oh ya? Aduh, sayang aku tidak kangen tuh sama kamu.”
Aya : “Eh, Tian, kamu itu kenapa, sih? Sepertinya tidak suka kalau kami ke sini?”
Tian : “Kalau iya, kalian mau apa?”
Byan : “Sudah, saya capek harus mendengarkan kalian dari tadi ribut terus.”’
Arya : ”Biar saja, Yan! ‘Kan jadi ramai. Jarang-jarang loh, bisa lihat yang seperti ini.”
Aluna : “Iya Tian, aku sama kamu ‘kan saudara…”
Tian : “Jauh.”
Aluna : “Iya, iya, saudara jauh, dan kita juga bersahabat baik ‘kan?”
Tian : “Pernah bersahabat.”
Byan : “benar. Apa salahnya, sih kita memperbaiki hubungan kita?”
Tian : “Apa? Baikan? Kamu lupa apa yang mereka lakukan kepada kita?”
Byan : “Apa?”
Tian : “Lupa. Makanya aku Tanya kamu.”
Byan : “Karena lupa itulah, saya rasa kita memang ditakdirkan untuk bersatu lagi. Menurutmu, Ar?”
Arya : “Aku ikut saja deh.”
Aluna : “Ya sudah kita salaman untuk memulai persahabatan baru. Ayo dong.”
Tian, Irsya, dan Aya : “Hah?! Salaman?!”

Tian, Irsya, dan Aya nampak enggan untuk saling berjabat tangan. Mereka merasa tak semudah itu memulai sebuah persahabatan lagi yang dulu pernah hancur.

***

Setelah kejadian itu, mereka berenam mulai pergi bersama-sama. Mereka sering pergi ke tempat-tempat yang dulu pernah mereka datangi. Tapi, pada awal pertemanan itu, masih terlihat keengganan diantara mereka. Perlahan tapi pasti, mereka mulai bisa menerima satu sama lain.
Suatu hari saat sedang berlari-lari…
Aluna : “Tian, aku capek nih. Kenapa sih kita harus olahraga?”
Tian : “Aduh Alun, olahraga itu membuat tubuh kita sehat. Lagian, bisa mengurangi lemak di tubuh kamu dan kamu.” (Menunjuk Aluna dan Aya).
Aya : “Ih, kok aku di bawa-bawa sih?”
Irsya : “Kenyataan mengatakan bahwa kamu termasuk dalam jajaran orang-orang gendut di Indonesia.”
Aya : (Cemberut, lalu mulai berbicara sendiri).
Irsya : “Tian, kita berhenti dulu ya, aku capek.”
Tian : (Menghela napas). “Iya deh. Mm, si Arya dan Byan mana ya?”
Aluna : “Itu mereka.” (Menunjuk ke lapangan basket).
Tian : “Ah iya. Ih, Alun pintar deh.”
Aluna : (berbisik). “Hah, Alun? Kok kayak alun-alun ya? Berarti terkenal, ‘kan ada alun-alun Kebumen, alun-alun Yogyakarta, hihi…” (Tertawa kecil). “Tapi… alun-alun ‘kan besar. Berarti aku gendut?!” (Menggaruk-garuk kepala). “Ah, tahu ah. Aku bingung.”

***

Di suatu siang, mereka berlima, kecuali Tian sedang berkumpul. Raut wajah mereka mencerminkan bahwa mereka sedang serius. Tiba-tiba, dari kejauhan, terlihat Tian sedang berjalan bersama temannya. Tanpa sengaja dia melihat mereka berlima.
Tian : (Berhenti berjalan. Berkata dalam hati) “Lho, itu ‘kan… Tapi, kenapa aku tidak di ajak, sih?”
Icha : “Kenapa? Ada masalah?”
Tian : “Ah, tidak ada apa-apa. Mm, aku ada urusan. Kamu pulang duluan saja.”
Icha : “Iya deh. Duluan ya.” (Melambaikan tangan pada Tian)
Tian : (Menghampiri teman-temannya, kemudian menggebrak meja)
“Heh, kalian ini bagaimana, sih? Kalian sudah lupa sama aku? Tega ya, kalian di sini tanpa aku? Tak merasa bersalah? Aku, capek-capek mengerjakan tugas di sekolah, kalian malah enak-enakan di sini. Dimana solidaritas kalian?”
Aluna : “Mm, memangnya kita menaruh solidaritas di mana, sih? Kasihan si Tian nyari-nyari. Ada yang tahu?” (Memandang teman-temannya bergantian)
Irsya : “Alun, solidaritas itu adalah…”
Arya : (Menyela perkataan Irsya) “Makanan khas kutub selatan.”
Byan : “Setahu saya, kutub selatan itu tidak bisa di huni. Yang saya tahu, kutub utara yang di huni manusia, sekaligus penguin dan …”
Aluna, Irsya, Arya : “Beruang kutub!” (Sambil menatap Aya)
Aya : “Maksudnya apa, hah? Aku tidak sebesar itu tahu.”
Tian : “Ah, kalian ini apa-apaan, sih? Aku ‘kan sedang marah, kalian malah bercanda sendiri. Kalian tidak setia kawan! Pokoknya, kita putus!” (Pergi meninggalkan mereka)
Arya : “Putus nyambung putus nyambung putus nyambung, sekarang putus besok nyambung lagi, sudah begitu, putus lagi deh.”
Aluna : “Ya, Tian jadi pergi. Kita kejar, yuk.”
Aya : (Menarik baju Aluna). “Untuk apa kita kejar dia? Dia itu memang seperti itu. nanti juga sembuh sendiri.”
Byan : “Tapi, apa benar tidak apa-apa? Saya takut kalau…”
Arya : “Ah, sudahlah. Nanti kalau butuh dia juga mencari kita.”

***

Sudah tiga hari mereka berlima tidak berbicara dengan Tian. Rasa bersalah pun menggelayuti diri mereka.
Aya : “Eh, kita cari Tian kemana? Masa kita harus menghabiskan waktu hanya untuk mencari anak egois itu? Hei, kamu tahu dia di mana?” (Memandang Arya dan Byan).
Arya : “Biasanya, sih, kalau jam segini dia main basket.”

Di lapangan basket, Tian sedang bermain basket dalam hujan. Kelimanya kemudian datang menghampirinya.
Aluna : “Tian…”
Tian : “Untuk apa kalian ke sini? Urus saja urusan kalian masing-masing.”
Aya : “Tian, dengarkan dulu.” (Sambil memegang pundak Tian).
Tian : “Apa yang perlu dijelaskan? Kalian itu tidak suka padaku. Kalian selalu begitu. Aku tidak diperlukan, ‘kan?” (Menghempaskan tangan Aya).
Aya : “Tian, dengarkan dulu!” (Memegang pundak Tian lagi dan mengguncangnya).
Tian : “Ih, apa-apaan, sih!” (Melepas genggamannya dan bersiap pergi).
Aluna : (Menahan kepergian Tian) “Tian, jangan marah… Aku mohon…”
Tian : (Melepas tangan Aluna sampai Aluna terjatuh dan pergi meninggalkan mereka berlima).
Tiba-tiba saja Tian jatuh pingsan. Kemudian, mereka berlima menghampirinya.

***

Sesaat kemudian, Tian tersadar dari pingsannya.
Irsya : “Tian, kamu tidak apa-apa? Aku takut kalau kamu kenapa-napa, sakit tidak? Aduh, pasti sakit ya?”
Tian : “Ih, kalian ini apa-apaan, sih? Sudah deh, tidak usah pura-pura baik padaku. Kalau kalian memang tidak suka aku, bilang saja. Tidak usah main kucing-kucingan begini!” (Sembari berdiri dan pergi meninggalkan mereka).
Irsya, Aluna, Aya, Arya, Byan : “Yah, salah lagi…”

***

Suatu hari Tian sedang melamun di tepi Balkon di lantai dua. Dia menatap langit dengan kehampaan. Tanpa disadari, teman-temannya sudah berada di bawahnya.
Aya, Aluna, Irsya, Arya, Byan : “Tian!!!”
Tian : (Terkejut, Kemudian terjatuh).
Mereka berenam jatuh tumpang tindih.
Irsya : “Aduh, kacamataku jatuh!”
Aluna : “Yah, makananku berserakan tidak karuan.”
Aya : “Aduh, bajuku kotor. Ini ‘kan baru di cuci.”
Arya : “Aduh, diriku tergencet diri kalian.”
Byan : “Aduh, saya tidak apa-apa, hehe..”
Tian : “Kalian ini, untuk apa, sih, datang ke sini?”
Aya : “Tian, dengarkan dulu.”
Tian : “Ah, pokoknya aku tidak mau dengar!”
Irsya dan Aluna : (Membungkam mulut Tian bersamaan).
Byan : “Tian, dengarkan dulu, sebentar saja. Saya rasa, kalau kamu tahu kamu pasti suka.”
Aluna : “Iya, Tian. Nanti kita bisa main sama-saman dan tentu saja ada makanan.”
Aya : “Intinya, kita sedang merencanakan liburan.”
Irsya : “He eh. Menurut buku yang belum pernah kubaca, tapi pernah aku dengar isinya, refreshing itu sangat diperlukan oleh para remaja, khususnya siswa-siswa yang terbebani dengan tugas sekolah, lalu…”
Arya : “kita akan melakukan sebuah ekspedisi!”
Irsya : “Apaan sih, Ya? Jangan memotong pembicaraan orang. Kata bu Guru, Orang yang memotong pembicaraan itu…”
Aya, Aluna, Tian, Byan, Arya : “sangat dianjurkan untuk orang seperti kamu.”
Tian : “Jadi kapan kita kemana?”
Aya : “Besok kita naik gunung, bagaimana?”
Tian : “Wah, ide bagus! Aku mau!”
Aya : “Tapi ingat. Jangan sampai ada barang yang tertinggal.”
Irsya : “Apa aku perlu membawa kacamata cadangan? Ensiklopedia?”
Aluna : “Apa aku harus membawa pabrik camilan?”
Arya : “Apa aku perlu membawa bola basket?”
Byan : “Mau main di mana kamu?”
Arya : “Mm…, di sungai, sawah, di atas pohon, tidak masalah.”
Aya : “Pokoknya, bawa semua yang kalian anggap penting dan …”
Tian : “Rumah?”
Aya : “Jangan aneh-aneh, deh!”

***

Pagi harinya, mereka berlima sudah siap dengan semua barang bawaan masing-masing. Akn tetapi Byan belum juga menampakkan batang hidungnya pada waktu yang telah ditetapkan.
Aya : “Aduh, Byan mana, sih? Seharusnya ‘kan dia sudah datang!”
Arya : “mungkin macet.”
Irsya : “Macet dari mana? Tidak ada istilah macet di Kebumen, tahu!”
Aluna : “Pasti dia sedang beli makanan untukku.”
Tian : “Yang dipikirkan kamu cuma makan saja. Ada hal lain yang lebih bermanfaat tidak?”
Aluna : “Ada. Menghabiskan makanan.”
Aya : “Hei, bagaimana kelanjutannya?”
Arya : (Menelepon Byan) “Hallo, Yan, ada yang mau bicara nih.” (Menyerahkan handphonenya pada Aya)
Aya : “Hallo, Yan. Kamu ini bagaimana, sih? Jam di rumah kamu mati?”
Byan : “Maaf teman-teman. Waktu saya bilang rencana kita pada orang tua saya, mereka tidak mengizinkan saya pergi.”
Aya : “Bagaimana, sih? Kita ‘kan sudah janji akan pergi bersama-sama!”
Byan : “Iya, saya tahu. Tapi…”
Aya : “Pokoknya kamu harus ikut. Nanti kita ke rumah kamu.”
Byan : “Jangan, nanti ketahuan.”
Aya : “Lalu bagaimana?”
Byan : “Mm…, begini saja…”

***

Sesaaat kemudian mereka berlima telah sampai di samping rumah Byan. Mereka datang sambil mengendap-endap.
Tian : “Aduh, mana sih, si Byan? Lama sekali.”
Aluna : (Berbisik) “Sst.. Jangan berisik.”
Aya : “Aduh, apa aku telepon lagi, ya?”
Irsya : “Sepertinya tidak usah. Menurut pengamatan kacamataku, sebentar lagi dia datang.”
Arya : “Itu dia!” (sambil menunjuk kearah Byan)
Tian : “Byan, benar tidak apa-apa?”
Byan : “Mm…Sebenarnya saya takut.”
Irsya : “Lalu? Menurutku ya, rasa takut itu akan terus menggelayuti kita jika…”
Aya : “Aduh Sya, jangan menakuti Byan dong!”
Arya : “Iya. Kalau dia nangis bagaimana?”
Irsya : “Ih, dengar dulu. Aku ‘kan belum selesai bicara.”
Aluna : “Iya, Irsya sayang. Lalu lanjutannya apa?”
Irsya : “Mm…, jika ya, rasa takut itu akan terus menggelayuti kita jika kita…”
Tian : (Memotong perkataan Irsya) “Ah, lama! Bisa lebih singkat tidak?”
Irsya : “Ah, Tian, sih! Aku ‘kan jadi lupa!” (Sambil membetulkan kacamatanya)
Aya : “Sst…Sudah, sudah! Nanti kita ketahuan.”


***

Sesaat kemudian, mereka telah berjalan menyusuri pematang sawah.
Tian : “Wah, asyik nih! Tahu begini, aku mau sering-sering seperti ini.”
Arya : “Maksud kamu?”
Tian : “Iya. Jalan di pematang sawah, naik gunung, kita berpetualang.”
Aluna : “Iya ya. Aku juga jadi teringat masa lalu kita dulu.”
Irsya : “Menurut salah seorang psikiater langgananku, masa lalu akan terus terukir dalam benak dan hati kita. Tergantung bagaimana kita menyikapinya sehingga masa lalu itu tidak menghantui dan menguasai kita.”
Aya : “Aduh, penjelasannya panjang sekali, sih? Kamu ukur tidak Yan? Berapa meter?”
Byan : “Hah? Kamu bicara apa, sih, Ya? Kok saya tidak tahu. Aduh, saya bingung. Ukur? Meter? Hah, apaan sih, saya tidak tahu lah?”
Arya : “Aduh, kalian ini membuatku pusing. Eh, Ir, kamu langganan psikiater ya?”
Irsya : “Mm…, itu…”
Arya : (Tertawa) Untuk apa kamu berlangganan psikiater, hah?”
Irsya : (Cemberut) “Jiwaku ini bisa terguncang kalau sering-sering dengan kalian.”
Tian : “berarti kamu sering gila, Ir?”
Irsya : “Huh Kalian ini apa-apaan, sih?” (Tambah cemberut)
Aya : “Sudah jangan memojokkan Irsya dong. Nanti kalau dia ngambek, tidak ada yang berkata ….”
Tian, Aluna, Arya, Byan : “Menurut buku yang pernah aku baca.”

Tiba-tiba Aya jatuh terperosok ke sawah.
Aya : “Aih, kakiku penuh dengan Lumpur! Aduh bagaimana ini?”
Byan : “Gawat! Gawat! Nanti mama bisa marah kalau tahu! Aduh gawat!”
Arya : “Polisi! Ambulans! Siapa saja, tolong!”
Aluna : “Sudahlah, tidak usah histeris seperti itu. Dicuci pkai air juga bisa.”
Arya : “Air! Air!” (Berteriak histeris)
Irsya : “Menurut buku yang pernah kubaca. Mencuci yang baik dan benar itu harus pakai sabun. Karena sabun itu mengandung antiseptik. Jika tidak nanti kuman-kumannya akan terus menempel, sehabis itu…”
Aya, Aluna, Tian, Arya, Biyan : “ Hoamm” (pura-pura menguap).
Tian : “Sudah-sudah. Mau cuci kaki saja repot. Lalu, mau cuci dimana nih?” (sambil
memandang sekeliling). “Ah itu?” (menunjuk ke arah yang dimaksud)

Mereka pun lari berbondong-bondong, tetapi Aya tertinggal di belakang.
Aya : “Hei! Tunggu!” (sambil mengejar kelima temannya yang sudah berhenti)
Aya : (Begitu sampai di samping teman-temannya) “Kalian ini bagaimana, sih? ’Kan aku yang butuh air, kok kalian yang lari-lari sih?” (sambil terengah-engah)
Aluna : “Ups! Maaf ya, Ya, kita lupa, hehe…”
Byan : “Kita?”
Irsya : “bukan kita, tapi kami! Gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dong!” (Sambil membetulkan kacamatanya)
Tian : “Irsya, kita ini bukan sedang belajar bahasa Indonesia, tapi kita sedang
menunggu…, Aya! Cepat dong! Cuci kaki kok lama, sih?”
Aya : “Iya, ya. ‘Kan kata Irsya mencucinya harus bersih.”
Arya : “Eh, cepat. Jangan ngobrol terus. Nanti kita tidak cepat sampai, lho. Dicuci maupun tidak. Tak ada bedanya ‘kan?”
Tian : “Betul, betul aku setuju. Dicuci maupun tidak kamu tetap gendut, Ya.”
Byan : “Menurut saya. Hal itu tidaklah saling berhubungan. Menurutmu, Sya?”
Irsya : “ Ah, tidak tahu lah!”
Arya : “Ayo cepat kita berangkat.”
Aluna : “Mm…, memangnya kita mau kemana, sih?” (Sambil menggaruk-garuk kepalanya)
Tian : “Mau ke makam! Ikut?”
Aluna : “Hah! Makam? Takut…”
Byan : “Sudah, jangan bercanda terus.”
Mereka pun kembali berjalan. Kemudian Aya kembali tertinggal.
Aya : “Eh, tunggu dong!” (Sambil berlari mengejar kelima temannya)

***

Aluna : “Masih jauh tidak? Makananku sudah mau habis nih…”
Irsya :”Aduh, Aluna… Kita ini ‘kan mau ke gunung bukan mau ke kafe.”
Aluna : “Iya, sih. Tapi kalau seperti ini terus, persediaan makananku ‘kan bisa habis.”
Tian : “Kalau nanti di gunung kamu lapar, ‘kan banyak daun, kayu, atau kamu mau coba
makan tanah? Batu?”
Aluna : “Ih, apaan, sih! Memangnya aku kambing, apa?”
Arya : “Tepatnya sapi.”
Aluna : “Terus, apaan makan tanah sama batu segala? Maksudnya apa?”
Tian : “Ih, begitu saja ngambek. Biasa saja lagi.”
Aya : “Ah sudah, sudah. Kok dari tadi kalian terus yang bicara. Giliranku dan Byan kapan?”
Byan : “Tapi, saya pernah dengar kalau diam itu emas. Jadi saya rasa diam itu lebih baik.”
Irsya : “Tapi, Yan, menurut pengamatanku. Diam itu ada saatnya. Jika seseorang meminta pendapat kita, apa kita masih harus diam?” (Membetulkan kacamatanya)
Byan : “Iya, sih. Tapi kita ‘kan harus diam saat pelajaran.”
Irsya : “Terus, kalau bu guru Tanya? Kita diam, begitu?”
Byan : “Kalau Tanya pada Arya, saya rasa, saya tidak perlu menjawab.”
Arya : “Lho kok aku dibawa-bawa, sih?” (Sambil menunjuk dirinya sendiri)
Byan : “Ar, kamu tidak usah ikut bicara. Ir, kalau di perpustakaan ‘kan kita harus diam.”
Irsya : “Iya, tapi kalau kita mau pinjam buku, apa tidak perlu bicara ke petugas? Hah?”
Aya : “Ah, sudah cukup! Kalian ini apa-apaan, sih?” (Memandang Irsya dan Byan bergantian)
Tian : “biarkan saja. Biar ramai. Pecahkan saja gelasnya, biar ramai.”
Irsya : “Lho, lho, kayaknya pernah dengar. Kamu mencuri dimana kata-kata itu?”
Tian : “Enak saja, mencuri! Aku Cuma memungut kalimat yang tercecer, itu saja.”
Arya : “Jadi, kerja sambilanmu sebagai pemulung?”
Tian : “Ih, apaan, sih!”
Aluna : “Eh, masih jauh tidak? Aku capek, nih. Istirahat sebentar dong.”
Aya : “Iya, nih. Kok tidak sampai-sampai ya? Aku juga capek.”
Tian : “Dasar orang gendut. Kurangi lemak dong.”
Irsya : “Menurut perhitunganku, jika kita beristirahat, itu akan membuang waktu.”
Byan : “Tapi jika kita tidak istirahat, saya rasa nanti kita lebih capek.”
Aluna : “Iya, betul. Memangnya kalian tidak punya rasa capek, ya?”
Arya : “Mungkin.”
Tian : “Sudah, sudah. Sekarang kita ambil suara saja.”
Arya, Aluna, Aya, Byan, Irsya : “Aaa…”
Tian : “Aduh, bukan seperti itu! Tapi, pemungutan suara untuk…”
Arya : “Heh, tadi suara kalian di taruh dimana? Cepat ambil!”
Tian : “Arya! Jangan bercanda terus dong.”
Byan : “Ya, sudah. Saya tahu maksudmu, Tian. Mm…, siapa yang setuju istirahat dulu?”
Aya dan Aluna mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Byan : “Lalu, siapa lagi?”
Tian : “Karena diriku dilahirkan dengan solidaritas terhadap teman yang amat sangat tinggi sekali, maka…”
Aya : “Ah kamu mulai ketularan Irsya nih.”
Tian : “Iya deh. Iya, aku ikut istirahat.”
Byan : (Menatap Arya)
Arya : “Aku ikut saja.”
Byan : “Ya sudah. Kita istirahat sebentar.”
Mereka pun duduk di pinggir jalan sambil mengeluarkan minuman dari tas masing-masing.
Byan : “Aneh. Kok tidak ada orang, ya?”
Irsya : “Iya. Untuk jalan yang sudah di aspal ini memang aneh.”
Tian : “Ya, benar ini jalannya?”
Aya : “Iya, benar kok.”
Aluna : “Eh, eh. Kalian dengar suara tidak?”
Arya : “Suara apa?”
Aluna : “Suara. Mm…, seperti …, ah! Pokoknya tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Tapi aku dengar.”
Irsya : “Aneh-aneh saja.”
Aluna : “Itu! Kalian lihat bapak-bapak yang pakai baju hitam itu tidak?” (Sambil menunjuk)
Byan : "Mana? Tidak ada siapa-siapa, kok.”
Aya : “Jangan-jangan…..”
Semua : “Hantu!!!!”
Mereka berenam pun mengambil langkah seribu hingga akhirnya sampai di suatu tempat, di tengah gunung.
Aluna : “Eh, berhenti dulu. Aku capek.”
Arya : “Aya, benar ini gunungnya?”
Aya : “Tidak tahu.”
Byan : “Lho, katanya kamu pernah ke sini?”
Aya : “Iya, sih. Tapi,…”
Tian : “Tapi apa?”
Aya : “Itu sekitar tiga sampai lima tahun yang lalu.”
Semua : “Apa?”
Irsya : “Sekarang kita benar-benar tersesat. Bagaimana ini?” (Berpikir)
“Mm…Menurut buku yang pernah aku baca. Kalau kita tersesat di suatu tempat, maka kita harus kembali ke tempat semula. Jadi darimana kita datang?”
Masing-masing menunjuk ke arah yang berbeda.
Byan : “Sudah, ah. Kalau begini terus tidak akan selesai. Sekarang kita coba mencari jalan supaya kita bisa pulang.”
Aluna : “Setuju. Aku tidak mau mati kelaparan di sini.”
Mereka pun berjalan kembali untuk mencari jalan keluar dari gunung itu.
Tian : “Sepertinya ini tempat kita tadi berhenti deh.”
Irsya : “Iya, kalau begitu, ayo kita jalan lagi siapa tahu kita bisa kembali.”
Mereka pun berjalan kembali menyusuri jalan. Namun, mereka sampai di tempat itu kembali.
Aya : “Aduh, bagaimana nih. Masa dari tadi kita hanya berputar-putar di sini, sih.”
Byan : “Sekarang sudah sore. Apa kita mau meneruskan perjalanan?”
Arya : “Lebih baik kita bermalam di sini saja. Kalian tidak mau kan kita semakin tersesat?”
Irsya : “Memangnya, tidak ada pilihan lain? Bermalam di rumah penduduk, mungkin?”
Byan : “Kamu bisa lihat Sya, sejauh mata memandang hanya ada pohon.”
Aya : “Tapi …, masa kita harus tidur di gunung, tanpa tenda, alas, terus nanti kalau ada apa-apa, bagaimana?”
Aluna : “Apa-apa? Maksudnya?”
Irsya : “Seperti ular, serigala, harimau, hantu…”
Aluna : “Hantu? Ah, aku takut. Kita pulang saja ya.”
Arya : “Pulang bagaimana? Pokoknya mau tidak mau, kita harus tinggal.”
Byan : “Saya setuju”
Tian : “Kalau ada apa-apa?”
Arya : “Tidak akan ada apa-apa. Ingat saja hal yang menyenangkan.”
Irsya : “Misalnya?”
Byan : “Berlibur di villa?”
Irsya : “Iya kalau villanya baik-baik saja. Kalau angker?”
Arya & Byan : “Iya.”
Tian : “Kamu ini apa-apaan sih? Kalau memang takut ya tidak usah bilang seperti itu.”
Irsya : “Tapi ‘kan…”
Aluna : “Kita tetap tinggal?”
Arya & Byan : “Iya!”

Mereka berenam pun menghabiskan sisa hari di tengah gunung. Tanpa tenda,tanpa alas, dan tanpa selimut. Siang berganti sore, dan sore pun berganti malam. Malam itu, bintang bertaburan di langit.
Tian : “Aduh yang lain sudah tidur. Eh, lihat!”
Irsya : “Bintangnya banyak sekali!”
Aluna : “Iya, banyak. Satu, dua, tiga,…”
Tian : “Kamu sedang apa, Lun?”
Aluna : “Menghitung bintang.”
Irsya : “Aluna, bintang itu banyak sekali. Ribuan, bahkan jutaan. Percuma saja kamu hitung, pakai kalkulator juga tidak akan ketemu.”
Tian : “Oh iya. Kalian percaya tidak dengan bintang jatuh?”
Aluna : “Percaya. Mungkin bintang itu terlalu berat, atau sudah tua. Makanya dia jatuh.”
Tian : “Hee??”
Irsya : “Aduh, bukan seperti itu! Bintang jatuh itu tidak ada, yang ada hanya meteor yang jatuh ke bumi tapi tidak sampai permukaan bumi. Kalian tahu ‘kan, kalau bintang itu…”
Tian : “Hoamm… Aku mengantuk. Tidur dulu ya.”
Aluna : “Tapi aku belum bisa tidur. Bagaimana?”
Irsya : “Hitung bintang saja.”

***

Aya : “Aduh, aku mau cuci muka nih. Ada air tidak?”
Arya : “Itu, di bawah situ.”
Byan : “Teman-teman, saya rasa kita harus melanjutkan perjalan deh.”
Aluna : “Tapi ‘kan kita belum makan.”
Irsya : “Ah, kamu makan saja yang dipikirkan.”
Arya : “Eh, teman-teman, aku mau buang air dulu ya.”
Tian :”Jangan lama-lama! Eh, Yan, ikuti dia. Jangan-jangan dia mau pacaran dengan kuntilanak.”
Byan : “Siip!”
Irsya : “Aduh, mereka lama sekali sih!”
Tiba-tiba ada suara dari semak-semak. Mereka berempat merapatkan diri.
Aluna : “Eh, itu…suara apa?”
Aya : Tidak tahu.”
Tiba-tiba dari belakang, Arya datang mengagetkan mereka berempat. Kemudian keempatnya lari tunggang langgang dan Arya tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya.
Arya : “Ah, apa-apaa, sih?” (tanpa memandang ke belakang)
Arya kembali tertawa. Kembali ada yang menepuk pundaknya
Arya : “Ih, mengganggu saja!” (melihat ke belakang)
“Lho, tadi yang menepuk pundakku siapa? Jangan-jangan… Huaaa….” (lari terbirit-birit)
Byan : (Muncul) “Ar, ini saya, Byan. Ar, tunggu! (menyusul Arya)
Tian : “Teman-teman, kita berhasil! Kita sampai!”
Aya : “Hhh, syukurlah.” (duduk di tanah)
Aluna : “Menangis.”
Irsya : “Kenapa Lun? Kenapa menangis? Kamu menangis karena kita berhasil keluar dari gunung? Karena kita sudah sampai di jalan?”
Aluna : (menggelengkan kepala)
Tian : “Lalu kenapa?”
Aluna : “Aku lapar…”
Irsya, Tian, & Aya : “Yee…”
Tian : “Tapi, tadi itu benar-benar gila. Tiba-tiba ada penampakan. Hh, aku benar-benar kaget.”
Arya : (muncul sambil tertawa)
Tian : “Kenapa kamu?”
Arya : (masih tertawa) Tadi itu aku. Ah, tidak asyik ah. Ternyata Tian penakut.”
Tian : “E…, enak saja! Siapa bilang?”
Byan : (muncul) “Alah, kamu juga penakut, Ar. Buktinya kamu tadi lari, ya kan?”
Aluna, Aya, Irsya, & Tian : “Uuhh…”

***

Mereka melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap.
Irsya : “Eh, berarti liburan kita gagal dong?”
Tian : “Kata siapa?”
Irsya : “Iya, kita tersesat. Sudah begitu, bermalam di tengah gunung yang kanan-kirinya hanya ada pohon.”
Aya : “Iya, Banyak nyamuk lagi.”
Aluna : “Huh. Sudah begitu, tetap tidak bisa tidur walau sudah menghitung bintang sampai 100.”
Byan : “Tapi ‘kan pada akhirnya kita kembali.”
Tian : “Ah, pokoknya aku tidak mau lagi pergi ke gunung lagi! Apalagi dengan kalian.”
Aya : “Harusnya aku yang bilang begitu.”
Tian : “Bukannya kamu menikmati? Buktinya kamu bisa tidur nyenyak tadi malam.”
Arya : “Ah! Sudah-sudah! Semuanya ‘kan sudah berlalu.”
Irsya : “Tapi tetap saja…”
Aluna : “Liburannya gagal.”
Arya : “Kata siapa? Liburan kita baru akan dimulai!” (kemudian menceburkan teman-temannya ke sungai.”

THE END


By: Windy Asriani dan Rizki Purnamasari