Jumat, 08 Juli 2011

Dibalik manfaat air kelapa

hay hay hay, ini nih  manfaat dari air kelapa yang ternyata besar banget dalam tubuh kita...

Sebaiknya mulai saat ini kita harus lupakan dulu minuman bersoda, kafein, jus buah atau sport drink. Kini saatnya mengenal khasiat air kelapa. Bukan hanya mengandung mineral, air kelapa juga kaya akan nutrisi, bahkan di daerah terpencil air kelapa bisa digunakan sebagai pengganti cairan infus. Air kelapa merupakan cairan paling murni kedua setelah air. Air kelapa hanya mengandung sedikit karbohidrat dan 99 persen bebas lemak serta rendah gula. Kandungan gula yang terdapat dalam air kelapa bersifat alami dan tidak diproses seperti minuman lain yang diberi tambahan gula.
Dibandingkan dengan sport drink, air kelapa hanya mengandung sedikit sodium, tetapi memiliki lebih banyak potasium. Air kelapa tidak hanya berisi air, tetapi juga mengandung nutrisi. Dalam 30 ml air kelapa terkandung 61 mg potasium, 5,45 mg sodium, dan 1,3 mg gula. Kandungan lainnya adalah magnesium, kalsium, vitamin B dan C, zinc, selenium, iodine, serta sulfur.
Tak heran jika air kelapa mengandung beragam manfaat kesehatan sebagai berikut:

Membuat tubuh hidrasi
Salah satu manfaat kesehatan air kelapa adalah kemampuannya menghidrasi tubuh. Air kelapa mengandung semua elektrolit yang dibutuhkan tubuh seperti sodium, potasium, klorida, kalsium, dan magnesium. Elektrolit ini bersama air minum memegang peran penting untuk menjaga tubuh tetap terhidrasi terutama selama dan setelah kegiatan olahraga yang menguras keringat.
    Membantu menurunkan berat badan
    Air kelapa terkenal akan kandungan kalorinya yang rendah. Karena itu, jika Anda ingin menurunkan berat badan, gantilah kebiasaan mengonsumsi minuman berkalori tinggi seperti soda, kafein, atau jus buah dengan air kelapa.

    Meningkatkan sistem imun
    Air kelapa ternyata juga mengandung asam lauric yang juga ditemukan pada ASI. Fungsi asam ini adalah antimikroba, antibakteri, serta antijamur. Air kelapa yang diminum secara teratur sangat baik untuk meningkatkan sistem imun tubuh untuk melawan berbagai virus dan penyakit.

    Meningkatkan sirkulasi
    Air kelapa membantu membawa nutrisi dan oksigen ke dalam sel darah dan meningkatkan metabolisme. Selain itu, air kelapa juga bisa membantu membersihkan saluran pencernaan.

    Menghilangkan mual
    Penderita demam tifoid, malaria, atau penyakit lain yang menimbulkan rasa mual bisa mencoba mengonsumsi air kelapa untuk mengurangi rasa mual.

    Mengobati pasien kolera
    Air kelapa mengandung albumen alami sehingga cocok menjadi minuman darurat pada pasien yang terinfeksi kolera.

    Baik untuk pencernaan
    Komponen air kelapa mengandung berbagai enzim bioaktif yang bisa membantu mengatasi masalah pencernaan dan metabolisme. Konsumsi air kelapa secara teratur efektif untuk mengatasi rasa tidak nyaman di perut.

    Menjaga keseimbangan elektrolit
    Air kelapa merupakan sumber potasium yang baik. Dalam satu sajian air kelapa terkandung 220 mg potasium. Elektrolit ini dibutuhkan tubuh setiap hari untuk menjaga fungsi kontraksi jantung.

    Mengatasi infeksi saluran kencing
    Air kelapa sangat disarankan untuk mereka yang menderita batu ginjal dan saluran kemih. Minum air kelapa secara teratur disebutkan membantu memecah batu ginjal sehingga lebih mudah untuk dikeluarkan.

    Menjaga kesehatan kulit
    Air kelapa bekerja seperti halnya pelembab ringan dan juga mengurangi kelebihan minyak di kulit. Manfaat lainnya adalah melembutkan kulit bertipe kombinasi. Anda bisa menggunakan air kelapa untuk mandi atau memilih lotion kulit yang terbuat dari kelapa. Air kelapa juga bisa dipakai untuk membasuh wajah setelah mengenakan masker, terutama untuk mereka yang memiliki jenis kulit berminyak.

    Selasa, 05 Juli 2011

    Diambang Kemampuan

    Siang ini kuliah Teknik Digital kosong. Dosen hanya memberikan tugas yang harus dikumpulkan minggu depan. Tetapi aku belum terlalu peduli untuk segera mengerjakan tugas itu karena aku berencana untuk mengerjakannya diakhir pekan ini.

    Selama empat hari aku terus berkutat dengan tugas-tugas yang lain dan dengan organisasiku. Hingga tanpa aku sadari ternyata sudah hari jumat, dan itu berarti tinggal tiga hari lagi waktuku untuk mengerjakan tugas itu. Hah, tapi dasar aku mulai malas karena kepenatan minggu ini dengan tugas-tugas kuliah dan organisasi, akhirnya aku pun mulai mengerjakan tugas teknik digital di hari minggu.

    Gila memang, tapi mau bagaimana lagi. Hari jumat dan sabtu tubuhku terlalu capek karena harus bolak-balik dari kos-kampus-Gedung UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) dan kembali ke kos lagi. Jarak kos, kampusku, dan gedung UKM jauh. Ditambah aku berjalan kaki semakin membuat tubuhku lelah dan akhirnya pun aku tertidur lebih awal.

    Akhirnya, hari mingguku pun harus aku lewati seharian dalam kamar. Setelah pagi ini mencuci baju-bajuku yang menumpuk satu ember dengan air yang sangat minim, aku pun mulai membuka modul yang kemarin diberikan oleh dosenku. Sebuah modul Teknik Digital dengan jumlah halaman tiga puluh dan berbahasa inggris. Wauw, sungguh mencengangkan seorang Windy mempelajari materi berbahasa Inggris. Haha, mungkin kalau adikku di rumah melihat aku mengerjakan soal-soal ini dia akan tertawa. Ya, mentertawakan aku karena aku memang tidak terlalu pintar untuk yang satu ini.

    Ah, aku tak peduli, toh adikku tak disini, jadi dia tidak akan melihat kakaknya sedang berpusing-pusing ria mengerjakan soal-soal berbahas inggris.

    Pukul 09:00
    Cucianku sudah selesai dijemur semua. Kini saatnya aku memulai mengerjakan soal-soal teknik digital untuk senin besok. Kusiapkan meja lipatku dan setumpuk kertas folio. Tidak lupa pula seplastik kecil cemilan yang kubeli tadi malam. Musik-musik pop tak lupa aku setel dari laptopku. Akhirnya persiapan untuk mengerjakan soal teknik Digital pun sudah siap.

    Aku pun mulai membuka modul dari halaman pertama dan membacanya. Tetapi hal itu justru membuatku justru pusing karena kata-kata dalam modulku berbahasa inggris semua dan kosa kata yang digunakan masih begitu asing bagiku. Akhirnya aku putuskan untuk segera mengerjakan soal-soalnya saja untuk mengefisienkan waktu pula. Aku pun segera membuka dua halaman terakhir dimana soal-soal yang akan aku kerjakan berada (hehe…) dan wauw!! Sebuah keterkejutan yang aku dapati. Soal-soal yang akan aku kerjakan ternyata tidak hanya 34 saja, tetapi lebih dari itu. Setiap satu soal terdiri dari delapan soal lagi. Itu berarti ada 34 x 8 soal, jadi ada sekitar 272 soal yang harus aku kerjakan. Oh TIDAKK!!!!

    Pukul 10:00
    Hah, mau tidak mau aku harus segera mengerjakan soal-soal ini semua kalau tidak nilai Teknik Digitalku akan jadi taruhannya. Aku pun segera mengerjakan soal pertama, cukup lumayan mudah untuk dikerjakan, hanya mengkonversikan bilangan biner ke desimal. Delapan soal pun akhirnya terselesaikan di sesi soal pertama. Lanjut ke soal kedua, mengkonversikan bilangan desimal ke bilangan binner. Yah, masih cukup lumayan masih bisa mengerjakannya tanpa menggunakan kalkulator karena masih hitung-hitungan yang sederhana.

    Berlanjut ke soal nomor empat dan lima tenyata kemampuan berhitungku sudah tidak bisa diandalkan kembali untuk berhitung tanpa kalkulator. Akhirnya aku putuskan untuk meminjam kalkulator pada semua penghuni kos, tetapi ternyata tidak ada satu pun yang mempunyai kalkulator. Sungguh tragis sekali nasibku, ckckck. Sudah soal-soal yang aku kerjakan baru tiga nomor dikalikan delapan, berarti aku baru mengerjakan 24 soal, dan itu berarti masih ada sekitar 2000 lebih yang belum aku kerjakan. Hikshikshiks..

    Pukul 11:00
    Setelah mencoba menggunakan kalkulator di handphone yang ternyata sulit akhirnya keputusan pun jatuh pada kalkulator laptop. Jiah.., hohonnya nggak ketulungan, contoh anak informatika yang tidak bisa memanfaatkan laptopnya secara maksimal ya aku. (Jangan ditiru ya, nggak baik, hehe..).

    Mulai lanjut hitung menghitung lagi soal-soal teknik digital. Kali ini sudah tidak lagi berkutat dengan bilangan desimal lagi, tapi sudah lebih rumit, tingkatan soal yang dikerjakan semakin rumit. Beralih ke bilangan octal dan hexadesimal. Hufth, nasib anak IPS yang kesasar dijurusan teknik informatika ya seperti ini. Tetapi mau tidak mau harus dijalani.

    Kini waktu terus berjalan. Soal-soal yang aku kerjakan pun belum beralih dari bilangan-bilangan biner (ya jelas, materinya aja tentang itu) dan berbahasa inggris itu. Baru sekitar sepuluh soal yang dikerjakan, tetapi perutku sudah mulai berdendang ria menyanyikan lagu-lagu kelaparan. Hah, andaikan aku mengerjakan tugas-tugas ini dari kemarin pasti tidak akan sepusing ini mengerjakan soal-soal dengan deadline yang cukup pendek (Lah gimana nggak pendek, dikumpulin besok siang, penyakit hohonnya kumat lagi deh).

    Pukul 13:00
    Kepenatan sudah sampai diujung ubun-ubun, bila dilanjutkan mungkin aku tak mampu. Perut pun tak mau berhenti berdendang, akhirnya aku pun memutuskan berhenti mengerjakan soal-soal teknik digital dan akan meneruskannya kembali nanti sore.

    Pukul 15:30
    Hujan pun mulai turun membasahi Semarang. Rencana awal untuk mengerjakan tugas pun terabaikan karena ternyata lebih enak waktu hujan-hujan seperti ini untuk bermalas-malasan. Akhirnya pun waktu yang direncanakan untuk mengerjakan tugas pun terbuang sia-sia.

    Pukul 18:30
    He, kayaknya kali ini aku sudah tidak bisa main-main lagi. Tugas sudah terlalu menumpuk seperti ini. Besok harus segera dikumpulkan, jadi malam ini harus segera selesai semuanya.

    Waktu pun terus bergulir, tetapi aku masih terus berkutat dengan angka-angka biner. Rasa bosan pun mulai menjalar merasuk kedalam ragaku. Namun, hatiku terus berontak agar aku terus mengerjakan soal-soal itu. Tanpa aku sadari mereka pun mulai memperebutkan perhatianku agar memilih salah satu diantara mereka. Haha, ternyata aku cukup mencuri hati mereka. Tetapi pilihan tetap pada si hati, karena mau tidak mau aku harus segera mengerjakan ini semua sampai selesai.

    Pukul 21:00
    Akhirnya setelah bertahan satu jam setelah memilih hati, aku pun tumbang. Kepalaku sudah tak mampu untuk mengerjakan soal-soal didepanku. Angka-angka di depanku seolah terus berputar. Kalkulator di laptop pun sudah berubah bagaikan monster yang siap untuk menerkam. Sungguh, bila aku meneruskan ini semua kepalaku bisa meletus mengeluarkan isinya yang mulai memanas.

    Senin, 28 Maret 2011
    Pukul 05:00
    Setelah sholat subuh kuputuskan untuk tidur kembali karena kepalaku masih terasa pusing. Kubiarkan kertas-kertasku yang semalam berserakan di tempat tidur. Saat ini aku benar-benar tak mampu untuk melanjutkan soal-soal yang tersisa. Kepenatan hari minggu kemarin sudah membuatku lupa untuk makan dan beristirahat, hingga akhirnya tubuhku pun yang menjadi korban.

    Mungkin ini sebuah peringatan kecil agar aku bisa lebih pintar dalam mengatur waktuku agar semua pekerjaan selesai tepat waktunya. Tetapi setidaknya aku masih bisa mengerjakan 26 soal dari 34 soal sendiri. Mempelajarinya secara tidak langsung dan memahaminya. (Jangan ditiru ya, ini kebiasaan yang buruk, okey :)).

    Semarang, 28 Maret 2011

    DI BALIK KEHIDUPAN


    Tubuh Ria jatuh pingsan tepat di dekat sebuah mobil yang akan pergi dari parkiran. Seorang gadis keluar dari mobil dan menyuruh orang-orang disekitar untuk mengangkat tubuh Ria ke dalam mobilnya. Ria pun  segera dibawa gadis itu ke klinik yang berada di sekitar rumah-rumah elit. Aku menemani Ria sejak berada di parkiran tadi. Tubuh Ria pun segera di bawa masuk gadis yang ternyata adalah pemilik klinik itu.

    “Siapa namamu, dik?” Tanya gadis itu.
    “Saya, Riri mbak.” Jawabku malu-malu.
    “Saya Arin, aku akan memeriksa temanmu dulu ya.” Kata gadis itu kemudian sambil mengambil barang yang diletakkan diantar telinganya kemudian ujungnya diletakkan di dada Ria.

                Bau obat terasa begitu menyengat di hidungku. Ruangan tempatku berada terasa sangat asing dengan berbagai peralatan yang aneh-aneh. Aku hanya terkagumn -kagum melihat semua perlatan yang baru saja kulihat pertama kali.

    “Dik.” Sapa mbak Arin padaku mengagetkanku.
    “Ya, mbak. Ada apa.” Jawabku sambil menutupi kekagetanku.
    “Teman kamu sering pingsan seperti itu? Sepertinya tubuhnya terlihat begitu lemah.”
    “Kalau pingsan baru kali ini. Tapi setiap hari dia selalu mengeluh sakit dan demam.”
    “Mungkin dia terlalu capek. Dimana rumah kalian?”
    “Kami berdua sudah terbiasa tidur dimana saja mbak.”
    “Kalian anak jalanan?” Tanya mbak Arin tak percaya.
    “Iya mbak.”

                Percakapan kami terus berlanjut hingga akhirnya Ria terbangun dan memanggil-manggil namaku.

    “Ri, kamu dimana?” panggil dia begitu lemahnya.
    “Aku di sini Ria.” Jawabku sambil mendekati dia.
    “Dimana aku, Ri? Tubuhku terasa sangat lemah. Kepalaku pusing sekali.”
    “Kamu ada di rumah mba Arin. Tadi kamu pingsan didekat mobil mba Arin jadi kamu langsung dibawa kesini sama mba Arin.”
    “Dik Ria sudah bangun rupanya. Apa yang dik Ria rasakan saat ini?” Tanya mba Arin kemudian.
    “Tubuhku terasa sangat lemah dan kepalaku pusing sekali mbak.”
    “Coba aku periksa lagi.”

                Mbak Arin segera mengambil peralatan yang tadi dipakai untuk memeriksa Ria. Wajah Ria terlihat sangat pucat dan tubuhnya terlihat begitu lemas. Tubuhnya terbujur lemah di atas kasur.

    “Kamu harus periksa darah dik. Aku khawatir kamu terserang tipes.”
    “Tapi aku tidak punya uang untuk membayar biayanya mbak.” Kata Ria.
    “Tenang saja dik, ini klinik punyaku. Khusus untuk kamu biaya tes darah dan obat gratis.”
    “Apa tidak merepotkan mbak Arin?”
    “Nggak apa-apa kok dik.”
    “Makasih mbak.”
    “Iya, dik.”

                Setelah sampel darah Ria diambil kami langsung diantar pulang sampai tempat tadi Ria pingsan. Hasil tes darah Ria baru bisa diketahui besok pagi. Kami sudah janjian untuk bertemu kembali di tempat ini lagi untuk mengetahui sakit yang diderita Ria selama ini.

    ***

                Sebuah mobil tepat berhenti di depan kami sesaat setelah kami sampai. Mbak Arin turun dengan raut muka yang muram lalu segera menghampiri Ria.

    “Dik Ria, mbak bisa bicara berdua saja?” Kata mba Arin tanpa basa-basi
    “Nggak sama Riri mbak?”
    “Kamu saja, dik Riri nggak apa-apa kan?”
    “Nggak apa-apa kok mbak.”

                Akhirnya mereka berdua meninggalkan Riri sendiri dalam kebingungannya yang lalu berlalu dari parkiran setelah mobil mbak Arin tak terlihat kembali. Sementara itu mbak Arin terus mengendarai mobilnya ke kliniknya tanpa bicara dengan Ria. Sedangkan Ria hanya terbengong-bengong melihat tingkah mbak Arin yang berbeda dari hari kemarin.

                Mobil mbak Arin berhenti tepat  di depan kliniknya. Setelah menutup pintu gerbangnya dia pun segera mengajak Ria ke dalam kliniknya. Sambil mengambil hasil tes darah, mbak Arin pun mengambil air putih untuk Ria.

    “Dik Ria, mbak Arin nggak tahu apa ini karena kesalahan pengecekan darah atau bukan, tetapi dari hasil tes darah menunjukkan bahwa dik Ria terserang virus HIV/AIDS.” Kata mbak Arin dengan berat hati.
    “Penyakit apa itu mbak” Tanya Ria polos.
    “Jadi dik Ria tidak tahu penyakit apa itu? Itu penyakit yang disebabkan oleh virus yang dapat menyebabkan sistem kekebalan tubuh menurun. Terjadi karena disebabkan pergaulan bebas dan hubungan seks bebas. Selain itu juga disebabkan karena penyakit yang diturunkan oleh orang tua dan air susu ibu. Apa keluarga adik ada yang menderita HIV/AIDS juga?” Tanya mbak Arin
    “Tidak mbak.” Jawab Ria dengan wajah tertunduk. “Tetapi …..” jawab Ria dengan tertahan.
    “Tetapi apa dik?” kata mbak Ria penasaran.
    “Tetapi …. Tetapi saya selalu menjadi korban pelampiasan biologis teman-teman sesama anak jalanan mbak. Aku tak bisa menolak permintaan mereka karena mereka selalu mengancamku akan mengucilkan aku dari dunia anak jalanan.”
    Kehidupan anak jalanan ternyata jauh dari dugaan mbak Arin. Mbak Arin pun hanya terdiam membisu tak bisa bicara sepatah kata pun mendengar pernyataan Ria. Dia pun tak bisa berbuat apa pun untuk membantu mengobati penyakit Ria. Sedangkan Ria hanya menangis sesenggukan setelah mengatakan itu, Ria pun takut bila sahabatnya, Riri, pun akan mengalami hal yang sama dengan dia.

                                                                            Semarang, 28 Februari 2011

    Maafkan aku, Ayah


    Kembali aku harus menelan kekecewaan, apa sebenarnya yang ayah inginkan. Aku sudah terlalu muak dengan sikap otoriternya. Aku sudah tak sanggup memenuhi semua keinginannya. Aku ikhlas dengan pilihan ayah untuk mengambil jurusan pendidikan matematika dan merelakan melepas STAN, tapi tidak untuk pilihan pendamping hidupku. Aku laki-laki bukan perempuan yang harus menerima perjodohan ini.

    “Ayah, aku sudah dewasa, bukan anak kecil lagi yang harus mengikuti semua perintah ayah. Untuk jodoh hidup biarkan aku memilih sendiri ayah. Aku yang akan menjalaninya bukan ayah.” Bentakku pada ayah pagi itu.

    Jujur, ini pertama kalinya aku membentak ayah di depan ibu. Tetapi aku sudah terlalu lelah dengan sikap ayah. Ayah hanya terdiam memandangku kemudian berlalu meninggalkan kami berdua. Aku membisu, aku benar-benar khilaf.

    “Istighfar nak, tenangkan dirimu dulu. Nanti bila hatimu sudah tenang kita bicarakan lagi.”

    Begitu tenang hatiku mendengarkan kata-kata ibu. Ya Allah, aku sudah salah karena sudah membentak ayah tadi. Apakah hati ayah terluka dengan sikapku tadi? Aku sudah berdosa. Seharusnya aku tidak membentak beliau, kenapa aku jadi labil seperti ini ya Allah.
    ***
    Sudah seminggu sejak peristiwa itu. Ayah seolah menghindar dariku. Berangkat kerja setelah sarapan pagi tanpa berkata apa pun dan pulang kerja setelah larut malam. Aku benar-benar merasa bersalah pada ayah. Aku harus segera bicara pada ayah dan meminta maaf.
    ***
    Minggu pagi akhirnya kuputuskan untuk bicara dengan ayah. Kudekati ayah yang sedang duduk di teras rumah.

    “Ayah, maafkan sikapku kemarin. Aku sudah salah. Tak seharusnya aku membentak ayah. Satu minggu ini aku sudah banyak memikirkan ini semua. Aku mau menerima perjodohanku dengan Intan. Semoga ini pilihan yang terbaik ayah. Aku tak mau melukai hati ayah lagi.”

    Ayah hanya terdiam terpaku mendengar kata-kataku. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya.

    “Ndre, maafkan ayah ya.” Kata beliau kemudian. “Ayah yang salah. Kamu memang sudah dewasa. Tak seharusnya ayah selalu memaksakan kehendak ayah, ayah sadar selama ini selalu memaksakan kehendak padamu. Maafkan ayah ya, Ndre. Perjodohan kamu dan Intan sudah ayah batalkan.”

    “Loh, ayah, kenapa harus dibatalkan? Andre ikhlas bila harus menikah dengan Intan asalkan ayah bahagia.”

    “Ndre, ayah sadar, kamu nanti yang akan menjalani ini semua bukan ayah. Ayah tak ingin memaksakannya. Carilah kebahagiaanmu sendiri, Nak. Ayah percaya denganmu.”

    “Subhanallah.. Terima kasih, ayah.” Kupeluk ayah tanpa rasa malu saat itu. Terima kasih Allah, Engkau sudah membukakan hati ayah.

    Semarang, 8 Februari 2011

    Valentine Tiwi



    Sedih Bila Kuingat Tengkaran Itu
    Membuat Jarak Antara Kita
    Resah Tiada Menentu Hilang Canda Tawamu
    Tak Ingin aku Begini Tak Ingin Begini
    Sobat Rangkaian Masa Yang Tlah Terlewat
    Buat Batinku Menangis
    Mungkin Karena Egoku Mungkin Karena Egomu
    Maaf aku Buat Begini Maaf aku Begini

    Bila Ingat Kembali Janji Persahabatan Kita
    Tak Kan Mau Berpisah Karena Ini
    Pertengkaran Kecil Kemarin Cukup Jadi Lembaran Hikmah
    Karena aku Ingin Tetap Sahabatmu
                                                                                                    Edcoustic, Pertengkaran kecil

                Air mata sudah tak bisa kubendung saat lagu ini terus mengalun. Aku tak mampu bila harus seperti ini. Dia sahabat terbaikku yang pernah ku kenal. Suka dan duka, sayang dan benci sudah pernah kita jalani bersama. Tetapi entah kenapa karena satu hal dia tak bisa memaafkanku. Aku sudah menjelaskannya berulang kali, tetapi tetap saja dia tak peduli. Seolah aku bagaikan sahabat yang sudah tak dianggapnya.

                Tepat satu minggu yang lalu Tiwi mengajakku untuk datang di pesta valentine yang diadakan temannya. Aku menolaknya, menolak dengan halus. Sudah ku jelaskan bahwa aku tak mau mengikuti perayaan yang asal usul sejarahnya tak jelas. Tetapi Tiwi seolah tak mendengarkanku. Dia lupa dengan pelajaran yang baru saja didapat dua hari yang lalu. Hadis Rasulullah s.a.w:“ Barang siapa yang meniru atau mengikuti suatu kaum (agama) maka dia termasuk kaum (agama) itu”.
                Aku tak tahu apa yang membuat Tiwi tiba-tiba berubah, tak biasanya dia seperti ini. Biasanya dia selalu mendengarkan kata-kataku dan menolak hal-hal yang memang jauh dari ajaran, tetapi kini dia justru mendekati hal yang seharusnya dia jauhi.

    “Wi, kamu lupa dengan pelajaran agama kemarin, Pak Guru menjelaskan bahwa Valentine itu haram hukumnya buat umat Islam.” Kujelaskan panjang lebar semuanya pada dia.

    “Iya, ingat. Aku kan nggak ngrayain, Yas. Aku hanya datang saja. Apa salah?” jawabnya.

    “Wi, itu sama saja kamu ikut merayakannya. Apa sih yang kamu cari Wi dari acara itu. Pesta itu tak bermanfaat sama sekali buat kita. Yang ada malah kesia-siaan. Coba lah kamu bayangkan, berapa uang yang kamu keluarkan untuk menyiapkan itu semua. Belum lagi kamu pasti harus berbohong sama orang tuamu. Aku tahu mereka pasti akan melarangmu.”

    “Sudahlah , Yas. Kamu diam saja. Aku Cuma ingin dianggap sama teman-teman. Aku bosan menjadi orang-orang yang selalu terpinggirkan. Nggak punya teman, setiap hari hanya berteman denganmu. Aku butuh teman baru, Yas!” Bentaknya.

                Aku kaget, kata-katanya bagaikan sambaran petir yang meluluh lantakkan hatiku. Apa gerangan yang sudah membuat sahabatku ini berubah sampai-sampai pemikiranya sepicik itu. Aku merindukan Tiwi yang dulu, yang tak peduli dengan kata-kata orang lain. Selalu ikhlas dengan apa yang Allah berikan, tidak seperti Tiwi yang saat ini.
    ***
               
    Tiga hari lagi pesta valentine itu tiba, Tiwi sudah terlihat sibuk mencari baju untuk datang di acara pesta besok. Mau tidak mau aku membantunya mencari baju untuk pesta itu karena terus didesak mengantarnya mencari baju di toko baju yang menurutku cukup mahal untuk ukuran kami.

    “Wi, nggak salah kamu mau nyari baju di sini?” tanyaku keheranan

    “Benar, di sini bajunya bagus-bagus loh.”

    “Tapi di sini mahal, Wi.”

    “Ah sudahlah, Cuma kali ini. Kan Cuma setahun sekali. Eh. Ini bagus nggak Yas?” Kata dia sambil mengambil baju dari gantungan.

    “Apa, Wi? Kamu mau pakai baju seperti ini?” Tanyaku terbelalak.

    “Iya.”

    “Tapi baju ini sangat terbuka, Wi. Kamu jangan macam-macam ah.”

    “Udahlah, Yas. Kamu nggak usah ribut seperti itu. Aku tahu apa yang pantas buat aku.”

                Hah, lagi-lagi aku harus terus beristighfar. Sahabatku berubah secara drastis hanya karena tak ingin dianggap kurang gaul. Ya Allah, berilah hidayah untuk sahabatku ini.
    ***

    14 Februari, !8.30
                Hari ini aku sudah membohongi orang tua Tiwi. Aku hanya mengiyakan kata-kata Tiwi ketika dia izin akan menginap di rumahku. Aku tak bisa berkata apa-apa.
    “Wi, kamu yakin mau ikut pesta hari ini?”

    “Yakinlah, Yas. Seharusnya aku yang menanyakan apa kamu yakin nggak mau ikut. Ntar nyesel loh.”
    “Nggak, terimakasih.” Jawabku Ketus.

                Kenapa sih anak satu ini sulit sekali dibilangin. Ah, sudahlah. Semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan dia.

    “Ya dah aku berangkat ya, Yas.”

    “Ya.”

    14 Februari, 21.00
                Sebuah panggilan masuk tepat saat aku selesai sholat isya. Tiwi, nama yang muncul dilayar hpku.
    “Assalamu’alaikum, Wi.”

    Wa’alaikumsalam.” Jawabnya dari seberang. “Yas, tolong jemput aku sekarang di rumah Aldi. Cepat.” Sambil terisak dia memintaku.

    “Hah? Oh ya. Tunggu ya.” Balasku linglung.

                Aku merasakan ada sesuatu yang tak beres. Tanpa pikir panjang kuambil kunci mobil di rak buku dan menjemput Tiwi.
    “Ada apa, Wi. Kenapa kamu menangis?” Tanyaku setelah kami sampai rumahku.

    Jumat, 01 Juli 2011

    LARA

    Sebuah angan tak mampu tergapai
    Sebuah asa mulai menggelayut
    Bak sebuah cengkraman tangan raksasa
    Terasa menyakitkan terasa

    Tak sepatah kata terucap
    Tak sebutir kenangan kau tinggalkan
    Pergi, seolah tak ada kenangan antara kita

    Bersembunyi dibalik puing-puing hati yang hancur
    Luruh dalam tangis
    Pergi, pergi, dan pergi
    Tak kuasa bila harus bertahan

    Kucoba menata kembali puing-puing hatiku
    Namun, hanya tawa yang kau suguhkan
    Kejam kau berikan itu
    Dan setelah itu pun kau tinggalkan


    (Keisengan menulis, Semarang)

    Sepenggal Kisah Masa Lalu


    Kebumen, Januari 2007
                Sang waktu terus berjalan menapaki sebuah kisah seorang gadis kecil, Windy. Ya, itu aku. Tanpa sadar waktu terus berjalan tanpa mau berhenti sejenak mengusir rasa penat yang terus menderaku beberapa bulan ini. Ujian Nasional terus saja mengejarku, seakan dia tak mau lepas dariku. Berbagai cara sudah aku tempuh, mengikuti les di sekolah, belajar setiap hari, bahkan hari mingguku pun aku korbankan mengikuti les di bimbingan belajar. Tapi apa? Tak ada satu pun mata pelajaran yang aku pahami.
    Kejenuhan semakin mendera. Aku semakin takut menghadapinya. Berbagai macam kemungkinan bisa terjadi. Seperti ketika aku gagal masuk SMP favorit di kotaku tiga tahun yang lalu. Aku takut gagal untuk kedua kalinya, gagal lulus Ujian Nasional.
                Waktu terus saja berjalan dan aku seolah tak mampu mengendalikan ketakutanku menghadapi ujian nasional. Ya, semuanya bagaikan momok yang sangat mengerikan. Sangat mengerikan. Apakah mungkin aku mampu untuk menghadapi ujian nasional beberapa bulan lagi.
                “Bagaimana persiapan ujianmu, Win?” Tanya wali kelasku, Bu Yuni, pagi itu ketika pelajaran biologi.
                Aku hanya dapat tersenyum dan mencoba menjawabnya dengan hati-hati agar ketakutanku tak terbaca oleh beliau.
                “Alhamdulillah Bu, sudah 50% menguasai materi ujian. Hanya saja…” aku tak mampu melanjutkan kata-kataku, aku ragu untuk meceritakannya pada beliau.
                “Hanya saja apa Win?” Tanya beliau.
                Aku masih ragu untuk menceritakan kegalauanku, aku takut, sungguh aku sangat takut untuk menceritakannya. Aku hanya terdiam, terpaku memandang langit biru di luar ruang kelas.
                “Hanya saja kamu takut mengahadapinya?” Tanya beliau.
                Aku tertegun, ternyata beliau bisa membaca apa yang aku rasakan.
                “Kenapa kamu harus takut, Win. Ini hanya sebuah persaingan kecil. Ibu lihat nilai-nilai kamu juga cukup memuaskan semester lalu. Meskipun bagi ibu itu belum cukup. Tapi kamu harus terus berusaha agar ujian nasionalmu bisa mendapatkan yang terbaik dan cara yang harus kamu tempuh adalah dengan bersungguh-sungguh. Kamu ingin masuk SMA Negeri 2 Kebumen kan?”
                “iya, Bu.” Jawabku singkat
                “Nah, kalau kamu ingin masuk SMA Negeri 2 Kebumen kamu harus punya keyakinan kalau kamu bisa masuk ke sana. Kamu harus mentarget hasil ujianmu sejak sekarang. Ingat, masuk SMA Negeri 2 Kebumen nilai rata-rata ujianmu minimal harus 8,00 ya. Mulai hari ini kamu harus mentarget nilai ujian nasionalmu besok harus mencapai 8,00 biar kamu bisa masuk SMA Negeri 2 Kebumen. Ibu yakin kamu bisa kok, Win. Patahkan rasa takut yang ada dalam dirimu. Buktikan bahwa kamu bisa. Jangan sampai ketakutanmu membuatmu hancur.”
                Nasehat beliau begitu mengena dalam hatiku, aku tak mau terpuruk dalam ketakutanku. Aku tak mau melihat orang-orang yang aku sayangi kecewa. Aku ingin melihat mereka semua tersenyum melihatku nanti. Aku akan buktikan bahwa aku bukan seorang gadis kecil yang lemah. Terima kasih bu Yuni atas nasehat dan semangatmu. Aku akan mencamkan itu dalam hatiku.
    Kebumen, Februari 2007
                Ujian Nasional kurang dua bulan lagi. Itu berarti mental harus benar-benar siap. Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris kini mulai menjadi makanan sehari-hari. Ya, setiap hari, karena saat ini yang terpikirkan dalam otakku hanya tiga mata pelajaran itu.
    Kebumen, Maret 2007
                Waktu pun terus berpacu, tak terasa satu bulan lagi ujian nasional menghadang. Persiapan sudah mulai matang. Kulihat sahabat-sahabatku di kelas sebelah sudah sangat siap menghadapi ujian dan hasil try out mereka bagus-bagus. Aku tak boleh kalah dengan mereka, setidaknya aku harus mendapatkan nilai sama dengan mereka.
                Keyakinan hati semakin mantap, kisi-kisi ujian yang diberikan para guru sudah 90% dipahami. Hanya tinggal mantapkan dengan doa dan ikhtiar.
    Kebumen, April 2007
                Ujian Nasional sudah di depan mata. Bukan menghiting bulan lagi, tetapi sudah menghitung hari. Kecemasan mulai terlihat menjelang ujian datang. Hah, aku sudah pasrah, apa pun hasilnya nanti, apa pun yang terjadi, itu sudah menjadi usaha terakhirku. Hanya tinggal berdoa, berdoa, dan berdoa. Semoga Allah memberikan kemudahan.
    Ujian hari pertama, Bahasa Indonesia
                Insya Allah, masih diberikan kemudahan untuk ujian hari ini. Meskipun mendapat tempat duduk yang sangat strategis, pojok belakang kiri, setidaknya dapat memberikan keleluasaan untuk memandang ke depan, melihat tingkah aneh teman-teman dalam menghadapi ujian.
    Ujian hari kedua, Bahasa Inggris
                Kesehatan fisik mulai melemah,  beberapa hari belajar tanpa memperhatikan kesehatan tubuh, alhasil pagi ini mengerjakan soal ujian dengan keadaan fisik yang tidak fit.
                Waktu terus berjalan, tiga puluh menit berlalu, aku masih berkutat dengan soal-soal. Belum ada satu pun soal terjawab. Satu jam berlalu, baru bisa mengerjakan lima belas soal. Keringat dingin mulai membasahi baju, masih ada tiga puluh lima soal yang belum terjawab. Hingga akhirnya tiga puluh menit terakhir pun masih saja belum berhasil menambah satu soal pun. Pasrah, berdoa sambil mengerjakan soal-soal yang tersisa dengan mengira-ira jawaban yang sesuai hingga akhirnya keluar ruangan dengan senyum kepahitan berharap ada keajaiban.
    Ujian hari ketiga, Matematika
                Ujian terakhir yang sangat dinantikan, Matematika. Keadaan fisik sudah sangat down, sakit sudah menghampiri. Mengerjakan soal-soal pun sudah tak fokus. Tetapi ada harapan untuk ujian terakhir ini. Aku tak boleh gagal di ujian ini.
    Waktu yang tersisa masih cukup banyak, kucoba mengulang mengerjakan dan membetulkan yang masih salah. Hingga akhirnya aku benar-benar sudah tak mampu menatap soal-soal di depanku. Aku sudah tak kuat, ini sudah usahaku yang terakhir. Semoga hasil yang kudapat memuaskan harapku dalam hati.
    Kebumen, Mei 2007
                Meskipun ujian Nasional telah berlalu, tetapi masih ada ujian sekolah dan praktek yang harus dihadapi. Masih dengan semangat awal, demi masuk SMA Negeri 2 Kebumen aku harus jadi yang terbaik. Kulalui semua ujian itu dengan senang hati, hingga akhirnya ujian pun berlalu sudah.
    Kebumen, 23 Juni 2007
                Masih teringat sangat jelas waktu itu, ketegangan terlihat diwajah semua teman-teman termasuk aku. Ya, hari ini penentuan nasib kami, saatnya pengumuman ujian nasional. Ibu kepala sekolah mulai maju mengumumkan hasil ujian kami. Perasaan cemas semakin mendera setelah ibu kepala sekolah mengatakan bahwa siswa-siswinya tidak lulus 46. Perasaanku semakin tak karuan, ketakutanku semakin mejadi ketika Bu Yuni dan Pak Heri datang menghampiriku menanyakan apakah orang  tuaku sudah datang. Aku takut, hampir saja air mata menetes dari mataku, apakah aku salah satu dari 46 itu sampai-sampai aku didatangi guru-guru yang sangat berperan ini.
                Ketegangan semakin mencekam, ini saat yang ditunggu-tunggu. Ibu kepala sekolah mulai membacakan hasil pengumuman. Dua sahabatku, Arman Setyadi dan Agung Wahyudi sudah dipanggil kedepan karena mereka masuk tiga besar. Hingga akhirnya entah karena aku salah mendengar atau tidak, namaku pun turut dipanggil, aku berdiri bertiga bersama dua sahabatku didampingi orang tua kami. Ya, berdiri di depan semua teman-teman. Merubah ketakutanku menjadi senyum kebahagiaan.
                Terima kasih untuk guru-guruku, kalian berhasil meyakinkanku bahwa usaha yang sungguh-sungguh akan menghasilkan hasil yang terbaik. Sahabat-sahabatku, kalian adalah sosok yang secara tak langsung selalu mendorongku. Ayah, Ibu inilah yang kupersembahkan untuk kalian. 23 Juni 2007