Selasa, 05 Juli 2011

Diambang Kemampuan

Siang ini kuliah Teknik Digital kosong. Dosen hanya memberikan tugas yang harus dikumpulkan minggu depan. Tetapi aku belum terlalu peduli untuk segera mengerjakan tugas itu karena aku berencana untuk mengerjakannya diakhir pekan ini.

Selama empat hari aku terus berkutat dengan tugas-tugas yang lain dan dengan organisasiku. Hingga tanpa aku sadari ternyata sudah hari jumat, dan itu berarti tinggal tiga hari lagi waktuku untuk mengerjakan tugas itu. Hah, tapi dasar aku mulai malas karena kepenatan minggu ini dengan tugas-tugas kuliah dan organisasi, akhirnya aku pun mulai mengerjakan tugas teknik digital di hari minggu.

Gila memang, tapi mau bagaimana lagi. Hari jumat dan sabtu tubuhku terlalu capek karena harus bolak-balik dari kos-kampus-Gedung UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) dan kembali ke kos lagi. Jarak kos, kampusku, dan gedung UKM jauh. Ditambah aku berjalan kaki semakin membuat tubuhku lelah dan akhirnya pun aku tertidur lebih awal.

Akhirnya, hari mingguku pun harus aku lewati seharian dalam kamar. Setelah pagi ini mencuci baju-bajuku yang menumpuk satu ember dengan air yang sangat minim, aku pun mulai membuka modul yang kemarin diberikan oleh dosenku. Sebuah modul Teknik Digital dengan jumlah halaman tiga puluh dan berbahasa inggris. Wauw, sungguh mencengangkan seorang Windy mempelajari materi berbahasa Inggris. Haha, mungkin kalau adikku di rumah melihat aku mengerjakan soal-soal ini dia akan tertawa. Ya, mentertawakan aku karena aku memang tidak terlalu pintar untuk yang satu ini.

Ah, aku tak peduli, toh adikku tak disini, jadi dia tidak akan melihat kakaknya sedang berpusing-pusing ria mengerjakan soal-soal berbahas inggris.

Pukul 09:00
Cucianku sudah selesai dijemur semua. Kini saatnya aku memulai mengerjakan soal-soal teknik digital untuk senin besok. Kusiapkan meja lipatku dan setumpuk kertas folio. Tidak lupa pula seplastik kecil cemilan yang kubeli tadi malam. Musik-musik pop tak lupa aku setel dari laptopku. Akhirnya persiapan untuk mengerjakan soal teknik Digital pun sudah siap.

Aku pun mulai membuka modul dari halaman pertama dan membacanya. Tetapi hal itu justru membuatku justru pusing karena kata-kata dalam modulku berbahasa inggris semua dan kosa kata yang digunakan masih begitu asing bagiku. Akhirnya aku putuskan untuk segera mengerjakan soal-soalnya saja untuk mengefisienkan waktu pula. Aku pun segera membuka dua halaman terakhir dimana soal-soal yang akan aku kerjakan berada (hehe…) dan wauw!! Sebuah keterkejutan yang aku dapati. Soal-soal yang akan aku kerjakan ternyata tidak hanya 34 saja, tetapi lebih dari itu. Setiap satu soal terdiri dari delapan soal lagi. Itu berarti ada 34 x 8 soal, jadi ada sekitar 272 soal yang harus aku kerjakan. Oh TIDAKK!!!!

Pukul 10:00
Hah, mau tidak mau aku harus segera mengerjakan soal-soal ini semua kalau tidak nilai Teknik Digitalku akan jadi taruhannya. Aku pun segera mengerjakan soal pertama, cukup lumayan mudah untuk dikerjakan, hanya mengkonversikan bilangan biner ke desimal. Delapan soal pun akhirnya terselesaikan di sesi soal pertama. Lanjut ke soal kedua, mengkonversikan bilangan desimal ke bilangan binner. Yah, masih cukup lumayan masih bisa mengerjakannya tanpa menggunakan kalkulator karena masih hitung-hitungan yang sederhana.

Berlanjut ke soal nomor empat dan lima tenyata kemampuan berhitungku sudah tidak bisa diandalkan kembali untuk berhitung tanpa kalkulator. Akhirnya aku putuskan untuk meminjam kalkulator pada semua penghuni kos, tetapi ternyata tidak ada satu pun yang mempunyai kalkulator. Sungguh tragis sekali nasibku, ckckck. Sudah soal-soal yang aku kerjakan baru tiga nomor dikalikan delapan, berarti aku baru mengerjakan 24 soal, dan itu berarti masih ada sekitar 2000 lebih yang belum aku kerjakan. Hikshikshiks..

Pukul 11:00
Setelah mencoba menggunakan kalkulator di handphone yang ternyata sulit akhirnya keputusan pun jatuh pada kalkulator laptop. Jiah.., hohonnya nggak ketulungan, contoh anak informatika yang tidak bisa memanfaatkan laptopnya secara maksimal ya aku. (Jangan ditiru ya, nggak baik, hehe..).

Mulai lanjut hitung menghitung lagi soal-soal teknik digital. Kali ini sudah tidak lagi berkutat dengan bilangan desimal lagi, tapi sudah lebih rumit, tingkatan soal yang dikerjakan semakin rumit. Beralih ke bilangan octal dan hexadesimal. Hufth, nasib anak IPS yang kesasar dijurusan teknik informatika ya seperti ini. Tetapi mau tidak mau harus dijalani.

Kini waktu terus berjalan. Soal-soal yang aku kerjakan pun belum beralih dari bilangan-bilangan biner (ya jelas, materinya aja tentang itu) dan berbahasa inggris itu. Baru sekitar sepuluh soal yang dikerjakan, tetapi perutku sudah mulai berdendang ria menyanyikan lagu-lagu kelaparan. Hah, andaikan aku mengerjakan tugas-tugas ini dari kemarin pasti tidak akan sepusing ini mengerjakan soal-soal dengan deadline yang cukup pendek (Lah gimana nggak pendek, dikumpulin besok siang, penyakit hohonnya kumat lagi deh).

Pukul 13:00
Kepenatan sudah sampai diujung ubun-ubun, bila dilanjutkan mungkin aku tak mampu. Perut pun tak mau berhenti berdendang, akhirnya aku pun memutuskan berhenti mengerjakan soal-soal teknik digital dan akan meneruskannya kembali nanti sore.

Pukul 15:30
Hujan pun mulai turun membasahi Semarang. Rencana awal untuk mengerjakan tugas pun terabaikan karena ternyata lebih enak waktu hujan-hujan seperti ini untuk bermalas-malasan. Akhirnya pun waktu yang direncanakan untuk mengerjakan tugas pun terbuang sia-sia.

Pukul 18:30
He, kayaknya kali ini aku sudah tidak bisa main-main lagi. Tugas sudah terlalu menumpuk seperti ini. Besok harus segera dikumpulkan, jadi malam ini harus segera selesai semuanya.

Waktu pun terus bergulir, tetapi aku masih terus berkutat dengan angka-angka biner. Rasa bosan pun mulai menjalar merasuk kedalam ragaku. Namun, hatiku terus berontak agar aku terus mengerjakan soal-soal itu. Tanpa aku sadari mereka pun mulai memperebutkan perhatianku agar memilih salah satu diantara mereka. Haha, ternyata aku cukup mencuri hati mereka. Tetapi pilihan tetap pada si hati, karena mau tidak mau aku harus segera mengerjakan ini semua sampai selesai.

Pukul 21:00
Akhirnya setelah bertahan satu jam setelah memilih hati, aku pun tumbang. Kepalaku sudah tak mampu untuk mengerjakan soal-soal didepanku. Angka-angka di depanku seolah terus berputar. Kalkulator di laptop pun sudah berubah bagaikan monster yang siap untuk menerkam. Sungguh, bila aku meneruskan ini semua kepalaku bisa meletus mengeluarkan isinya yang mulai memanas.

Senin, 28 Maret 2011
Pukul 05:00
Setelah sholat subuh kuputuskan untuk tidur kembali karena kepalaku masih terasa pusing. Kubiarkan kertas-kertasku yang semalam berserakan di tempat tidur. Saat ini aku benar-benar tak mampu untuk melanjutkan soal-soal yang tersisa. Kepenatan hari minggu kemarin sudah membuatku lupa untuk makan dan beristirahat, hingga akhirnya tubuhku pun yang menjadi korban.

Mungkin ini sebuah peringatan kecil agar aku bisa lebih pintar dalam mengatur waktuku agar semua pekerjaan selesai tepat waktunya. Tetapi setidaknya aku masih bisa mengerjakan 26 soal dari 34 soal sendiri. Mempelajarinya secara tidak langsung dan memahaminya. (Jangan ditiru ya, ini kebiasaan yang buruk, okey :)).

Semarang, 28 Maret 2011

DI BALIK KEHIDUPAN


Tubuh Ria jatuh pingsan tepat di dekat sebuah mobil yang akan pergi dari parkiran. Seorang gadis keluar dari mobil dan menyuruh orang-orang disekitar untuk mengangkat tubuh Ria ke dalam mobilnya. Ria pun  segera dibawa gadis itu ke klinik yang berada di sekitar rumah-rumah elit. Aku menemani Ria sejak berada di parkiran tadi. Tubuh Ria pun segera di bawa masuk gadis yang ternyata adalah pemilik klinik itu.

“Siapa namamu, dik?” Tanya gadis itu.
“Saya, Riri mbak.” Jawabku malu-malu.
“Saya Arin, aku akan memeriksa temanmu dulu ya.” Kata gadis itu kemudian sambil mengambil barang yang diletakkan diantar telinganya kemudian ujungnya diletakkan di dada Ria.

            Bau obat terasa begitu menyengat di hidungku. Ruangan tempatku berada terasa sangat asing dengan berbagai peralatan yang aneh-aneh. Aku hanya terkagumn -kagum melihat semua perlatan yang baru saja kulihat pertama kali.

“Dik.” Sapa mbak Arin padaku mengagetkanku.
“Ya, mbak. Ada apa.” Jawabku sambil menutupi kekagetanku.
“Teman kamu sering pingsan seperti itu? Sepertinya tubuhnya terlihat begitu lemah.”
“Kalau pingsan baru kali ini. Tapi setiap hari dia selalu mengeluh sakit dan demam.”
“Mungkin dia terlalu capek. Dimana rumah kalian?”
“Kami berdua sudah terbiasa tidur dimana saja mbak.”
“Kalian anak jalanan?” Tanya mbak Arin tak percaya.
“Iya mbak.”

            Percakapan kami terus berlanjut hingga akhirnya Ria terbangun dan memanggil-manggil namaku.

“Ri, kamu dimana?” panggil dia begitu lemahnya.
“Aku di sini Ria.” Jawabku sambil mendekati dia.
“Dimana aku, Ri? Tubuhku terasa sangat lemah. Kepalaku pusing sekali.”
“Kamu ada di rumah mba Arin. Tadi kamu pingsan didekat mobil mba Arin jadi kamu langsung dibawa kesini sama mba Arin.”
“Dik Ria sudah bangun rupanya. Apa yang dik Ria rasakan saat ini?” Tanya mba Arin kemudian.
“Tubuhku terasa sangat lemah dan kepalaku pusing sekali mbak.”
“Coba aku periksa lagi.”

            Mbak Arin segera mengambil peralatan yang tadi dipakai untuk memeriksa Ria. Wajah Ria terlihat sangat pucat dan tubuhnya terlihat begitu lemas. Tubuhnya terbujur lemah di atas kasur.

“Kamu harus periksa darah dik. Aku khawatir kamu terserang tipes.”
“Tapi aku tidak punya uang untuk membayar biayanya mbak.” Kata Ria.
“Tenang saja dik, ini klinik punyaku. Khusus untuk kamu biaya tes darah dan obat gratis.”
“Apa tidak merepotkan mbak Arin?”
“Nggak apa-apa kok dik.”
“Makasih mbak.”
“Iya, dik.”

            Setelah sampel darah Ria diambil kami langsung diantar pulang sampai tempat tadi Ria pingsan. Hasil tes darah Ria baru bisa diketahui besok pagi. Kami sudah janjian untuk bertemu kembali di tempat ini lagi untuk mengetahui sakit yang diderita Ria selama ini.

***

            Sebuah mobil tepat berhenti di depan kami sesaat setelah kami sampai. Mbak Arin turun dengan raut muka yang muram lalu segera menghampiri Ria.

“Dik Ria, mbak bisa bicara berdua saja?” Kata mba Arin tanpa basa-basi
“Nggak sama Riri mbak?”
“Kamu saja, dik Riri nggak apa-apa kan?”
“Nggak apa-apa kok mbak.”

            Akhirnya mereka berdua meninggalkan Riri sendiri dalam kebingungannya yang lalu berlalu dari parkiran setelah mobil mbak Arin tak terlihat kembali. Sementara itu mbak Arin terus mengendarai mobilnya ke kliniknya tanpa bicara dengan Ria. Sedangkan Ria hanya terbengong-bengong melihat tingkah mbak Arin yang berbeda dari hari kemarin.

            Mobil mbak Arin berhenti tepat  di depan kliniknya. Setelah menutup pintu gerbangnya dia pun segera mengajak Ria ke dalam kliniknya. Sambil mengambil hasil tes darah, mbak Arin pun mengambil air putih untuk Ria.

“Dik Ria, mbak Arin nggak tahu apa ini karena kesalahan pengecekan darah atau bukan, tetapi dari hasil tes darah menunjukkan bahwa dik Ria terserang virus HIV/AIDS.” Kata mbak Arin dengan berat hati.
“Penyakit apa itu mbak” Tanya Ria polos.
“Jadi dik Ria tidak tahu penyakit apa itu? Itu penyakit yang disebabkan oleh virus yang dapat menyebabkan sistem kekebalan tubuh menurun. Terjadi karena disebabkan pergaulan bebas dan hubungan seks bebas. Selain itu juga disebabkan karena penyakit yang diturunkan oleh orang tua dan air susu ibu. Apa keluarga adik ada yang menderita HIV/AIDS juga?” Tanya mbak Arin
“Tidak mbak.” Jawab Ria dengan wajah tertunduk. “Tetapi …..” jawab Ria dengan tertahan.
“Tetapi apa dik?” kata mbak Ria penasaran.
“Tetapi …. Tetapi saya selalu menjadi korban pelampiasan biologis teman-teman sesama anak jalanan mbak. Aku tak bisa menolak permintaan mereka karena mereka selalu mengancamku akan mengucilkan aku dari dunia anak jalanan.”
Kehidupan anak jalanan ternyata jauh dari dugaan mbak Arin. Mbak Arin pun hanya terdiam membisu tak bisa bicara sepatah kata pun mendengar pernyataan Ria. Dia pun tak bisa berbuat apa pun untuk membantu mengobati penyakit Ria. Sedangkan Ria hanya menangis sesenggukan setelah mengatakan itu, Ria pun takut bila sahabatnya, Riri, pun akan mengalami hal yang sama dengan dia.

                                                                        Semarang, 28 Februari 2011

Maafkan aku, Ayah


Kembali aku harus menelan kekecewaan, apa sebenarnya yang ayah inginkan. Aku sudah terlalu muak dengan sikap otoriternya. Aku sudah tak sanggup memenuhi semua keinginannya. Aku ikhlas dengan pilihan ayah untuk mengambil jurusan pendidikan matematika dan merelakan melepas STAN, tapi tidak untuk pilihan pendamping hidupku. Aku laki-laki bukan perempuan yang harus menerima perjodohan ini.

“Ayah, aku sudah dewasa, bukan anak kecil lagi yang harus mengikuti semua perintah ayah. Untuk jodoh hidup biarkan aku memilih sendiri ayah. Aku yang akan menjalaninya bukan ayah.” Bentakku pada ayah pagi itu.

Jujur, ini pertama kalinya aku membentak ayah di depan ibu. Tetapi aku sudah terlalu lelah dengan sikap ayah. Ayah hanya terdiam memandangku kemudian berlalu meninggalkan kami berdua. Aku membisu, aku benar-benar khilaf.

“Istighfar nak, tenangkan dirimu dulu. Nanti bila hatimu sudah tenang kita bicarakan lagi.”

Begitu tenang hatiku mendengarkan kata-kata ibu. Ya Allah, aku sudah salah karena sudah membentak ayah tadi. Apakah hati ayah terluka dengan sikapku tadi? Aku sudah berdosa. Seharusnya aku tidak membentak beliau, kenapa aku jadi labil seperti ini ya Allah.
***
Sudah seminggu sejak peristiwa itu. Ayah seolah menghindar dariku. Berangkat kerja setelah sarapan pagi tanpa berkata apa pun dan pulang kerja setelah larut malam. Aku benar-benar merasa bersalah pada ayah. Aku harus segera bicara pada ayah dan meminta maaf.
***
Minggu pagi akhirnya kuputuskan untuk bicara dengan ayah. Kudekati ayah yang sedang duduk di teras rumah.

“Ayah, maafkan sikapku kemarin. Aku sudah salah. Tak seharusnya aku membentak ayah. Satu minggu ini aku sudah banyak memikirkan ini semua. Aku mau menerima perjodohanku dengan Intan. Semoga ini pilihan yang terbaik ayah. Aku tak mau melukai hati ayah lagi.”

Ayah hanya terdiam terpaku mendengar kata-kataku. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya.

“Ndre, maafkan ayah ya.” Kata beliau kemudian. “Ayah yang salah. Kamu memang sudah dewasa. Tak seharusnya ayah selalu memaksakan kehendak ayah, ayah sadar selama ini selalu memaksakan kehendak padamu. Maafkan ayah ya, Ndre. Perjodohan kamu dan Intan sudah ayah batalkan.”

“Loh, ayah, kenapa harus dibatalkan? Andre ikhlas bila harus menikah dengan Intan asalkan ayah bahagia.”

“Ndre, ayah sadar, kamu nanti yang akan menjalani ini semua bukan ayah. Ayah tak ingin memaksakannya. Carilah kebahagiaanmu sendiri, Nak. Ayah percaya denganmu.”

“Subhanallah.. Terima kasih, ayah.” Kupeluk ayah tanpa rasa malu saat itu. Terima kasih Allah, Engkau sudah membukakan hati ayah.

Semarang, 8 Februari 2011

Valentine Tiwi



Sedih Bila Kuingat Tengkaran Itu
Membuat Jarak Antara Kita
Resah Tiada Menentu Hilang Canda Tawamu
Tak Ingin aku Begini Tak Ingin Begini
Sobat Rangkaian Masa Yang Tlah Terlewat
Buat Batinku Menangis
Mungkin Karena Egoku Mungkin Karena Egomu
Maaf aku Buat Begini Maaf aku Begini

Bila Ingat Kembali Janji Persahabatan Kita
Tak Kan Mau Berpisah Karena Ini
Pertengkaran Kecil Kemarin Cukup Jadi Lembaran Hikmah
Karena aku Ingin Tetap Sahabatmu
                                                                                                Edcoustic, Pertengkaran kecil

            Air mata sudah tak bisa kubendung saat lagu ini terus mengalun. Aku tak mampu bila harus seperti ini. Dia sahabat terbaikku yang pernah ku kenal. Suka dan duka, sayang dan benci sudah pernah kita jalani bersama. Tetapi entah kenapa karena satu hal dia tak bisa memaafkanku. Aku sudah menjelaskannya berulang kali, tetapi tetap saja dia tak peduli. Seolah aku bagaikan sahabat yang sudah tak dianggapnya.

            Tepat satu minggu yang lalu Tiwi mengajakku untuk datang di pesta valentine yang diadakan temannya. Aku menolaknya, menolak dengan halus. Sudah ku jelaskan bahwa aku tak mau mengikuti perayaan yang asal usul sejarahnya tak jelas. Tetapi Tiwi seolah tak mendengarkanku. Dia lupa dengan pelajaran yang baru saja didapat dua hari yang lalu. Hadis Rasulullah s.a.w:“ Barang siapa yang meniru atau mengikuti suatu kaum (agama) maka dia termasuk kaum (agama) itu”.
            Aku tak tahu apa yang membuat Tiwi tiba-tiba berubah, tak biasanya dia seperti ini. Biasanya dia selalu mendengarkan kata-kataku dan menolak hal-hal yang memang jauh dari ajaran, tetapi kini dia justru mendekati hal yang seharusnya dia jauhi.

“Wi, kamu lupa dengan pelajaran agama kemarin, Pak Guru menjelaskan bahwa Valentine itu haram hukumnya buat umat Islam.” Kujelaskan panjang lebar semuanya pada dia.

“Iya, ingat. Aku kan nggak ngrayain, Yas. Aku hanya datang saja. Apa salah?” jawabnya.

“Wi, itu sama saja kamu ikut merayakannya. Apa sih yang kamu cari Wi dari acara itu. Pesta itu tak bermanfaat sama sekali buat kita. Yang ada malah kesia-siaan. Coba lah kamu bayangkan, berapa uang yang kamu keluarkan untuk menyiapkan itu semua. Belum lagi kamu pasti harus berbohong sama orang tuamu. Aku tahu mereka pasti akan melarangmu.”

“Sudahlah , Yas. Kamu diam saja. Aku Cuma ingin dianggap sama teman-teman. Aku bosan menjadi orang-orang yang selalu terpinggirkan. Nggak punya teman, setiap hari hanya berteman denganmu. Aku butuh teman baru, Yas!” Bentaknya.

            Aku kaget, kata-katanya bagaikan sambaran petir yang meluluh lantakkan hatiku. Apa gerangan yang sudah membuat sahabatku ini berubah sampai-sampai pemikiranya sepicik itu. Aku merindukan Tiwi yang dulu, yang tak peduli dengan kata-kata orang lain. Selalu ikhlas dengan apa yang Allah berikan, tidak seperti Tiwi yang saat ini.
***
           
Tiga hari lagi pesta valentine itu tiba, Tiwi sudah terlihat sibuk mencari baju untuk datang di acara pesta besok. Mau tidak mau aku membantunya mencari baju untuk pesta itu karena terus didesak mengantarnya mencari baju di toko baju yang menurutku cukup mahal untuk ukuran kami.

“Wi, nggak salah kamu mau nyari baju di sini?” tanyaku keheranan

“Benar, di sini bajunya bagus-bagus loh.”

“Tapi di sini mahal, Wi.”

“Ah sudahlah, Cuma kali ini. Kan Cuma setahun sekali. Eh. Ini bagus nggak Yas?” Kata dia sambil mengambil baju dari gantungan.

“Apa, Wi? Kamu mau pakai baju seperti ini?” Tanyaku terbelalak.

“Iya.”

“Tapi baju ini sangat terbuka, Wi. Kamu jangan macam-macam ah.”

“Udahlah, Yas. Kamu nggak usah ribut seperti itu. Aku tahu apa yang pantas buat aku.”

            Hah, lagi-lagi aku harus terus beristighfar. Sahabatku berubah secara drastis hanya karena tak ingin dianggap kurang gaul. Ya Allah, berilah hidayah untuk sahabatku ini.
***

14 Februari, !8.30
            Hari ini aku sudah membohongi orang tua Tiwi. Aku hanya mengiyakan kata-kata Tiwi ketika dia izin akan menginap di rumahku. Aku tak bisa berkata apa-apa.
“Wi, kamu yakin mau ikut pesta hari ini?”

“Yakinlah, Yas. Seharusnya aku yang menanyakan apa kamu yakin nggak mau ikut. Ntar nyesel loh.”
“Nggak, terimakasih.” Jawabku Ketus.

            Kenapa sih anak satu ini sulit sekali dibilangin. Ah, sudahlah. Semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan dia.

“Ya dah aku berangkat ya, Yas.”

“Ya.”

14 Februari, 21.00
            Sebuah panggilan masuk tepat saat aku selesai sholat isya. Tiwi, nama yang muncul dilayar hpku.
“Assalamu’alaikum, Wi.”

Wa’alaikumsalam.” Jawabnya dari seberang. “Yas, tolong jemput aku sekarang di rumah Aldi. Cepat.” Sambil terisak dia memintaku.

“Hah? Oh ya. Tunggu ya.” Balasku linglung.

            Aku merasakan ada sesuatu yang tak beres. Tanpa pikir panjang kuambil kunci mobil di rak buku dan menjemput Tiwi.
“Ada apa, Wi. Kenapa kamu menangis?” Tanyaku setelah kami sampai rumahku.