Jumat, 15 Mei 2015

Sepucuk Surat Untuk Hati yang (pernah) Terluka


 



Kepada sebuah hati yang (pernah) terluka 
Kudengar malam itu tangis hatimu tersedu sedan meskipun tak kudapati kau menangis. Sesungging senyum kau nampakkan seolah tak pernah ada luka dalam hatimu. Aku teriris setiap kulihat senyummu. Tapi Aku hanya bisa terdiam saat senyum itu hadir, ya.. aku tahu senyum itu hampa tapi aku juga hanya bisa tersenyum agar kau tak menangis dihadapanku. Yah, kau tahu, aku tak bisa melihat kau menangis.


Kepada sebuah hati yang (pernah) terluka
Janganlah kau menyangkal dan acuh pada dirimu. Aku tahu kau tak pernah mengajarkan tentang kebohongan pada dirimu sendiri bahkan pada orang lain. Kau selalu mampu mengutarakan perasaanmu pada semesta, memendamnya jauh kedalam dasar hatimu yang tak pernah berkata dusta, kau menerangi cinta yang tumbuh tanpa menyakitinya. Sebenarnya kitalah yang menyakiti cinta kita sendiri, melukai perasaan kita sendiri dengan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendakmu. Mungkin bibir masih bisa tersenyum bahagia, gerak tubuh mengisyaratkan ketentraman  tapi ingat, kau tidak bisa melakukan itu, kau akan terluka meski berusaha ditutupi oleh perban keterpaksaan, tapi ingat perban itu hanya penutup luka yang tak punya obat, luka itu akan terus robek lebih lebar. (Anonim)


Kepada sebuah hati yang (pernah) terluka
Datanglah senja ini ke tempat dimana kita selalu bercengkerama dengan sepoi angin. Aku ingin melihat tawa lepasmu seperti yang dahulu. Berhenti mengingatnya, buka kembali pintu itu untuk memaafkan. Ingat bahwa apa pun itu kau tak boleh melukai diri sendiri dengan selalu mengingatnya, kau, masih punya sederet cerita yang harus kau hadirkan dengan senyum tulus bukan dengan terus mengenang segala kepahitan yang pernah kau rasakan. Tersenyumlah, untuk hari ini dan seterusnya. Untukku dan untukmu.
                                              

  Semarang, 150515