Selasa, 05 Juli 2011

DI BALIK KEHIDUPAN


Tubuh Ria jatuh pingsan tepat di dekat sebuah mobil yang akan pergi dari parkiran. Seorang gadis keluar dari mobil dan menyuruh orang-orang disekitar untuk mengangkat tubuh Ria ke dalam mobilnya. Ria pun  segera dibawa gadis itu ke klinik yang berada di sekitar rumah-rumah elit. Aku menemani Ria sejak berada di parkiran tadi. Tubuh Ria pun segera di bawa masuk gadis yang ternyata adalah pemilik klinik itu.

“Siapa namamu, dik?” Tanya gadis itu.
“Saya, Riri mbak.” Jawabku malu-malu.
“Saya Arin, aku akan memeriksa temanmu dulu ya.” Kata gadis itu kemudian sambil mengambil barang yang diletakkan diantar telinganya kemudian ujungnya diletakkan di dada Ria.

            Bau obat terasa begitu menyengat di hidungku. Ruangan tempatku berada terasa sangat asing dengan berbagai peralatan yang aneh-aneh. Aku hanya terkagumn -kagum melihat semua perlatan yang baru saja kulihat pertama kali.

“Dik.” Sapa mbak Arin padaku mengagetkanku.
“Ya, mbak. Ada apa.” Jawabku sambil menutupi kekagetanku.
“Teman kamu sering pingsan seperti itu? Sepertinya tubuhnya terlihat begitu lemah.”
“Kalau pingsan baru kali ini. Tapi setiap hari dia selalu mengeluh sakit dan demam.”
“Mungkin dia terlalu capek. Dimana rumah kalian?”
“Kami berdua sudah terbiasa tidur dimana saja mbak.”
“Kalian anak jalanan?” Tanya mbak Arin tak percaya.
“Iya mbak.”

            Percakapan kami terus berlanjut hingga akhirnya Ria terbangun dan memanggil-manggil namaku.

“Ri, kamu dimana?” panggil dia begitu lemahnya.
“Aku di sini Ria.” Jawabku sambil mendekati dia.
“Dimana aku, Ri? Tubuhku terasa sangat lemah. Kepalaku pusing sekali.”
“Kamu ada di rumah mba Arin. Tadi kamu pingsan didekat mobil mba Arin jadi kamu langsung dibawa kesini sama mba Arin.”
“Dik Ria sudah bangun rupanya. Apa yang dik Ria rasakan saat ini?” Tanya mba Arin kemudian.
“Tubuhku terasa sangat lemah dan kepalaku pusing sekali mbak.”
“Coba aku periksa lagi.”

            Mbak Arin segera mengambil peralatan yang tadi dipakai untuk memeriksa Ria. Wajah Ria terlihat sangat pucat dan tubuhnya terlihat begitu lemas. Tubuhnya terbujur lemah di atas kasur.

“Kamu harus periksa darah dik. Aku khawatir kamu terserang tipes.”
“Tapi aku tidak punya uang untuk membayar biayanya mbak.” Kata Ria.
“Tenang saja dik, ini klinik punyaku. Khusus untuk kamu biaya tes darah dan obat gratis.”
“Apa tidak merepotkan mbak Arin?”
“Nggak apa-apa kok dik.”
“Makasih mbak.”
“Iya, dik.”

            Setelah sampel darah Ria diambil kami langsung diantar pulang sampai tempat tadi Ria pingsan. Hasil tes darah Ria baru bisa diketahui besok pagi. Kami sudah janjian untuk bertemu kembali di tempat ini lagi untuk mengetahui sakit yang diderita Ria selama ini.

***

            Sebuah mobil tepat berhenti di depan kami sesaat setelah kami sampai. Mbak Arin turun dengan raut muka yang muram lalu segera menghampiri Ria.

“Dik Ria, mbak bisa bicara berdua saja?” Kata mba Arin tanpa basa-basi
“Nggak sama Riri mbak?”
“Kamu saja, dik Riri nggak apa-apa kan?”
“Nggak apa-apa kok mbak.”

            Akhirnya mereka berdua meninggalkan Riri sendiri dalam kebingungannya yang lalu berlalu dari parkiran setelah mobil mbak Arin tak terlihat kembali. Sementara itu mbak Arin terus mengendarai mobilnya ke kliniknya tanpa bicara dengan Ria. Sedangkan Ria hanya terbengong-bengong melihat tingkah mbak Arin yang berbeda dari hari kemarin.

            Mobil mbak Arin berhenti tepat  di depan kliniknya. Setelah menutup pintu gerbangnya dia pun segera mengajak Ria ke dalam kliniknya. Sambil mengambil hasil tes darah, mbak Arin pun mengambil air putih untuk Ria.

“Dik Ria, mbak Arin nggak tahu apa ini karena kesalahan pengecekan darah atau bukan, tetapi dari hasil tes darah menunjukkan bahwa dik Ria terserang virus HIV/AIDS.” Kata mbak Arin dengan berat hati.
“Penyakit apa itu mbak” Tanya Ria polos.
“Jadi dik Ria tidak tahu penyakit apa itu? Itu penyakit yang disebabkan oleh virus yang dapat menyebabkan sistem kekebalan tubuh menurun. Terjadi karena disebabkan pergaulan bebas dan hubungan seks bebas. Selain itu juga disebabkan karena penyakit yang diturunkan oleh orang tua dan air susu ibu. Apa keluarga adik ada yang menderita HIV/AIDS juga?” Tanya mbak Arin
“Tidak mbak.” Jawab Ria dengan wajah tertunduk. “Tetapi …..” jawab Ria dengan tertahan.
“Tetapi apa dik?” kata mbak Ria penasaran.
“Tetapi …. Tetapi saya selalu menjadi korban pelampiasan biologis teman-teman sesama anak jalanan mbak. Aku tak bisa menolak permintaan mereka karena mereka selalu mengancamku akan mengucilkan aku dari dunia anak jalanan.”
Kehidupan anak jalanan ternyata jauh dari dugaan mbak Arin. Mbak Arin pun hanya terdiam membisu tak bisa bicara sepatah kata pun mendengar pernyataan Ria. Dia pun tak bisa berbuat apa pun untuk membantu mengobati penyakit Ria. Sedangkan Ria hanya menangis sesenggukan setelah mengatakan itu, Ria pun takut bila sahabatnya, Riri, pun akan mengalami hal yang sama dengan dia.

                                                                        Semarang, 28 Februari 2011

0 komentar:

Posting Komentar