Selasa, 05 Juli 2011

Valentine Tiwi



Sedih Bila Kuingat Tengkaran Itu
Membuat Jarak Antara Kita
Resah Tiada Menentu Hilang Canda Tawamu
Tak Ingin aku Begini Tak Ingin Begini
Sobat Rangkaian Masa Yang Tlah Terlewat
Buat Batinku Menangis
Mungkin Karena Egoku Mungkin Karena Egomu
Maaf aku Buat Begini Maaf aku Begini

Bila Ingat Kembali Janji Persahabatan Kita
Tak Kan Mau Berpisah Karena Ini
Pertengkaran Kecil Kemarin Cukup Jadi Lembaran Hikmah
Karena aku Ingin Tetap Sahabatmu
                                                                                                Edcoustic, Pertengkaran kecil

            Air mata sudah tak bisa kubendung saat lagu ini terus mengalun. Aku tak mampu bila harus seperti ini. Dia sahabat terbaikku yang pernah ku kenal. Suka dan duka, sayang dan benci sudah pernah kita jalani bersama. Tetapi entah kenapa karena satu hal dia tak bisa memaafkanku. Aku sudah menjelaskannya berulang kali, tetapi tetap saja dia tak peduli. Seolah aku bagaikan sahabat yang sudah tak dianggapnya.

            Tepat satu minggu yang lalu Tiwi mengajakku untuk datang di pesta valentine yang diadakan temannya. Aku menolaknya, menolak dengan halus. Sudah ku jelaskan bahwa aku tak mau mengikuti perayaan yang asal usul sejarahnya tak jelas. Tetapi Tiwi seolah tak mendengarkanku. Dia lupa dengan pelajaran yang baru saja didapat dua hari yang lalu. Hadis Rasulullah s.a.w:“ Barang siapa yang meniru atau mengikuti suatu kaum (agama) maka dia termasuk kaum (agama) itu”.
            Aku tak tahu apa yang membuat Tiwi tiba-tiba berubah, tak biasanya dia seperti ini. Biasanya dia selalu mendengarkan kata-kataku dan menolak hal-hal yang memang jauh dari ajaran, tetapi kini dia justru mendekati hal yang seharusnya dia jauhi.

“Wi, kamu lupa dengan pelajaran agama kemarin, Pak Guru menjelaskan bahwa Valentine itu haram hukumnya buat umat Islam.” Kujelaskan panjang lebar semuanya pada dia.

“Iya, ingat. Aku kan nggak ngrayain, Yas. Aku hanya datang saja. Apa salah?” jawabnya.

“Wi, itu sama saja kamu ikut merayakannya. Apa sih yang kamu cari Wi dari acara itu. Pesta itu tak bermanfaat sama sekali buat kita. Yang ada malah kesia-siaan. Coba lah kamu bayangkan, berapa uang yang kamu keluarkan untuk menyiapkan itu semua. Belum lagi kamu pasti harus berbohong sama orang tuamu. Aku tahu mereka pasti akan melarangmu.”

“Sudahlah , Yas. Kamu diam saja. Aku Cuma ingin dianggap sama teman-teman. Aku bosan menjadi orang-orang yang selalu terpinggirkan. Nggak punya teman, setiap hari hanya berteman denganmu. Aku butuh teman baru, Yas!” Bentaknya.

            Aku kaget, kata-katanya bagaikan sambaran petir yang meluluh lantakkan hatiku. Apa gerangan yang sudah membuat sahabatku ini berubah sampai-sampai pemikiranya sepicik itu. Aku merindukan Tiwi yang dulu, yang tak peduli dengan kata-kata orang lain. Selalu ikhlas dengan apa yang Allah berikan, tidak seperti Tiwi yang saat ini.
***
           
Tiga hari lagi pesta valentine itu tiba, Tiwi sudah terlihat sibuk mencari baju untuk datang di acara pesta besok. Mau tidak mau aku membantunya mencari baju untuk pesta itu karena terus didesak mengantarnya mencari baju di toko baju yang menurutku cukup mahal untuk ukuran kami.

“Wi, nggak salah kamu mau nyari baju di sini?” tanyaku keheranan

“Benar, di sini bajunya bagus-bagus loh.”

“Tapi di sini mahal, Wi.”

“Ah sudahlah, Cuma kali ini. Kan Cuma setahun sekali. Eh. Ini bagus nggak Yas?” Kata dia sambil mengambil baju dari gantungan.

“Apa, Wi? Kamu mau pakai baju seperti ini?” Tanyaku terbelalak.

“Iya.”

“Tapi baju ini sangat terbuka, Wi. Kamu jangan macam-macam ah.”

“Udahlah, Yas. Kamu nggak usah ribut seperti itu. Aku tahu apa yang pantas buat aku.”

            Hah, lagi-lagi aku harus terus beristighfar. Sahabatku berubah secara drastis hanya karena tak ingin dianggap kurang gaul. Ya Allah, berilah hidayah untuk sahabatku ini.
***

14 Februari, !8.30
            Hari ini aku sudah membohongi orang tua Tiwi. Aku hanya mengiyakan kata-kata Tiwi ketika dia izin akan menginap di rumahku. Aku tak bisa berkata apa-apa.
“Wi, kamu yakin mau ikut pesta hari ini?”

“Yakinlah, Yas. Seharusnya aku yang menanyakan apa kamu yakin nggak mau ikut. Ntar nyesel loh.”
“Nggak, terimakasih.” Jawabku Ketus.

            Kenapa sih anak satu ini sulit sekali dibilangin. Ah, sudahlah. Semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan dia.

“Ya dah aku berangkat ya, Yas.”

“Ya.”

14 Februari, 21.00
            Sebuah panggilan masuk tepat saat aku selesai sholat isya. Tiwi, nama yang muncul dilayar hpku.
“Assalamu’alaikum, Wi.”

Wa’alaikumsalam.” Jawabnya dari seberang. “Yas, tolong jemput aku sekarang di rumah Aldi. Cepat.” Sambil terisak dia memintaku.

“Hah? Oh ya. Tunggu ya.” Balasku linglung.

            Aku merasakan ada sesuatu yang tak beres. Tanpa pikir panjang kuambil kunci mobil di rak buku dan menjemput Tiwi.
“Ada apa, Wi. Kenapa kamu menangis?” Tanyaku setelah kami sampai rumahku.

0 komentar:

Posting Komentar