Selasa, 05 Juli 2011

Maafkan aku, Ayah


Kembali aku harus menelan kekecewaan, apa sebenarnya yang ayah inginkan. Aku sudah terlalu muak dengan sikap otoriternya. Aku sudah tak sanggup memenuhi semua keinginannya. Aku ikhlas dengan pilihan ayah untuk mengambil jurusan pendidikan matematika dan merelakan melepas STAN, tapi tidak untuk pilihan pendamping hidupku. Aku laki-laki bukan perempuan yang harus menerima perjodohan ini.

“Ayah, aku sudah dewasa, bukan anak kecil lagi yang harus mengikuti semua perintah ayah. Untuk jodoh hidup biarkan aku memilih sendiri ayah. Aku yang akan menjalaninya bukan ayah.” Bentakku pada ayah pagi itu.

Jujur, ini pertama kalinya aku membentak ayah di depan ibu. Tetapi aku sudah terlalu lelah dengan sikap ayah. Ayah hanya terdiam memandangku kemudian berlalu meninggalkan kami berdua. Aku membisu, aku benar-benar khilaf.

“Istighfar nak, tenangkan dirimu dulu. Nanti bila hatimu sudah tenang kita bicarakan lagi.”

Begitu tenang hatiku mendengarkan kata-kata ibu. Ya Allah, aku sudah salah karena sudah membentak ayah tadi. Apakah hati ayah terluka dengan sikapku tadi? Aku sudah berdosa. Seharusnya aku tidak membentak beliau, kenapa aku jadi labil seperti ini ya Allah.
***
Sudah seminggu sejak peristiwa itu. Ayah seolah menghindar dariku. Berangkat kerja setelah sarapan pagi tanpa berkata apa pun dan pulang kerja setelah larut malam. Aku benar-benar merasa bersalah pada ayah. Aku harus segera bicara pada ayah dan meminta maaf.
***
Minggu pagi akhirnya kuputuskan untuk bicara dengan ayah. Kudekati ayah yang sedang duduk di teras rumah.

“Ayah, maafkan sikapku kemarin. Aku sudah salah. Tak seharusnya aku membentak ayah. Satu minggu ini aku sudah banyak memikirkan ini semua. Aku mau menerima perjodohanku dengan Intan. Semoga ini pilihan yang terbaik ayah. Aku tak mau melukai hati ayah lagi.”

Ayah hanya terdiam terpaku mendengar kata-kataku. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya.

“Ndre, maafkan ayah ya.” Kata beliau kemudian. “Ayah yang salah. Kamu memang sudah dewasa. Tak seharusnya ayah selalu memaksakan kehendak ayah, ayah sadar selama ini selalu memaksakan kehendak padamu. Maafkan ayah ya, Ndre. Perjodohan kamu dan Intan sudah ayah batalkan.”

“Loh, ayah, kenapa harus dibatalkan? Andre ikhlas bila harus menikah dengan Intan asalkan ayah bahagia.”

“Ndre, ayah sadar, kamu nanti yang akan menjalani ini semua bukan ayah. Ayah tak ingin memaksakannya. Carilah kebahagiaanmu sendiri, Nak. Ayah percaya denganmu.”

“Subhanallah.. Terima kasih, ayah.” Kupeluk ayah tanpa rasa malu saat itu. Terima kasih Allah, Engkau sudah membukakan hati ayah.

Semarang, 8 Februari 2011

0 komentar:

Posting Komentar